Lihat ke Halaman Asli

Memilih atau Golput? Politik Tetap Berjalan

Diperbarui: 14 Februari 2019   07:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang mengatakan bahwa negara bertugas melaksanakan fungsi emansipatoris bagi rakyat dalam perjalanan sejarah manusia. Di Indonesia fungsi tersebut sedang dijalankan. 

Coba saja bandingkan kondisi rakyat Indonesia selama penjajahan Belanda dan sekarang. Kondisinya jauh berbeda. Meskipun belum terwujud masyarakat yang ideal, sejatinya kondisinya jauh lebih baik. 

Negara adalah entitas politik yang muncul dalam situasi kesejarahan tertentu, bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul dan akan bertahan selamanya. Negara bisa hancur kapanpun. Saya membayangkan Indonesia bisa bubar dalam satu hari. 

Setidak-tidaknya terjadi perang saudara atau chaos. Bayangkan saja misalnya tanggal 17 April 2019 pukul 15.00 terjadi tragedi pembunuhan kepada salah satu capres dari kubu manapun, pasti Indonesia kacau seketika. Pada saat-saat penting penghitungan suara lalu salah satu kandidat capres terbunuh.  Ngeri. Hasil pemilu menjadi percuma.

Tentu situasi tersebut tidak kita harapkan dan memang tidak boleh kita harapkan. Tapi dalam politik tidak ada yang tidak mungkin. Misalnya peristiwa yang menimpa Presiden Amerika John. F. Kennedy yang tertembak mati pada saat melakukan pawai terbuka. Hanya saja status Kennedy waktu itu adalah presiden, bukan calon. Meskipun begitu, jika negara mati, politik sendiri tidak akan pernah mati. 

Politik adalah ekspresi alamiah manusia, sama seperti makan atau minum.  Ketika satu organisasi politik hancur, akan muncul organisasi politik dalam bentuk yang lain. 

Sama halnya dengan orang-orang yang mengklaim anti politik dan menyuarakan golput, sejadinya mereka adalah orang-orang yang sangat politis dan berusaha mewujudkan sikap politiknya. Setidaknya sikap politik yang menyimpang dari jalur yang semestinya.

Menjelang pemilu kali ini, sikap warga negara diharapkan berpartisipasi aktif untuk mendukung dan memilih salah satu kandidat capres. Kurikulum pendidikan politik menyatakan  bahwa tingginya partisipasi politik menandakan tingginya kesadaran politik di masyarakat. 

Masing-masing kandidat dan pendukungnya berkampanye di tengah masyarakat menawarkan program-program yang sejatinya tidak jauh berbeda. Dari sekian banyak respon masyarakat, ada dua respon yang muncul berkaitan dengan hal tersebut. Kelompok optimis dan kelompok pesimis.

Kelompok optimis menganggap bahwa politik seburuk apapun itu, tetap merupakan sesuatu yang masih dibutuhkan di tengah masyarakat. 

Kelompok optimis itu biasanya dari kalangan yang tergabung dalam kelompok kepentingan. Bisa ormas keagamaan, kelompok profesi, perkumpulan tertentu, dan lain-lain. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline