Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Sepatu Sebelah

Diperbarui: 31 Juli 2018   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Inspiratif

Perjalanan kehidupan tidaklah seperti yang diinginkan dua orang sahabat setia. Aku dan Kapper. Berkawan dekat sejak kecil sampai kini di usia setengah abad. Orang bilang kami beradik-kakak, tapi sebenarnya tidak. Aku yatim-piatu sejak kecil. Di usia belasan bulan, ibu dan ayahku sudah tiada akibat banjir melanda desaku. Bendungan besar dari mudik runtuh akibat arus air deras. Hujan sepanjang hari berturut-turut selama tiga hari. Bendungan yang puluh tahun lamanya di bangun pada masa penjajahan Jepang itu pun meletus. Air bah sepanjang arus sungai. Rumah orangtuaku di pinggir sungai Jambak--- tiga puluh meter dari sungai. Kejadian itu bermula petang hari. Warga sudah banyak mengungsi. Waktu itu orangtuaku sedang menjagaku yang masih bayi.  Saat air masuk rumah, ayah melarikanku ke rumah di atas bukit, lalu meletakkanku di teras rumah itu. Ayah kembali ke rumah kami menjemput Ibu. Ketika sampai dalam rumah, ayah gendong ibu, tapi malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, air bah kian besar dan deras, rumah kami roboh dibawa arus yang kencang dan menghanyutkan kedua orangtuaku. Begitu cerita Ibu Kapper tempat aku hidup hingga usia setengah abad ini.

Setelah banjir reda, ibu:--- orangtua Kapper menemukanku di teras rumah. Atas usulan warga dan disetujui tetua kampung, orangtua Kapper megasuhku dan menganggapku seperti anaknya; Kapper. Aku lebih tua enam bulan dari Kapper. Tapi cerita itu aku dengar sehari sebelum kami izin merantau. Saat itulah Ibuku---Ibu Kapper menceritakan semua kenangan pilu masa lampau. Tapi sudahlah, aku merasa punya orangtua dan adik sekaligus sahabat baik sejak aku mengenal kehidupan layaknya anak-anak lain.

Perjalanan hidup tidaklah seperti yang kami inginkan. Lepas SMA aku dan Kapper ingin melanjutkan kuliah. Begitupun orangtua kami sangat mendukung niat baik kami, walau sebenarnya kami tahu meraka tak punya uang untuk menyekolahkan kami. Tapi tak sedikit pun ungkapan pesimis di hati Ibu, apalagi ayah. Ayah bilang kami akan kuliah. Ayah akan berusaha mencari dana awal untuk kami berangkat ke kota. Ortangtua kami tidak menyadari kami sudah menginjak dewasa, tentu sudah sangat tahu keadaan keluarga, tapi kami simpan sedalam rasa iba.

Aku ajak Kapper duduk di tepi sungai dekat rumah peninggalan orangtuaku. Di sini, tragedi masa lalu itu bermula. Entah dapat ilham darimana, aku bisa membayangkan bagaimana kejadian masa silam yang merenggut nyawa orangtuaku. Wajah ayah dan ibu yang tak asing di mataku meskipun aku tak sempat menatap wajah mereka saat aku mulai mengenal kehidupan ini.

"Kapper, aku rasa di antara kita harus ada yang kuliah. Aku tak ingin impian kita dan juga orantua kita pupus begitu saja. Dan kita tahu, ayah tak punya tabungan. Hasil kerja ayah cukup untuk keperluan sehari-hari saja. Kalau pun nanti ayah mengutang kepada touke karet, tentu itu sangat memberatkan ayah juga nantinya.  Aku tak ingin kita merantau mereka susah di kampung."

"Lalu apa yang harus kita lakukan, Baidil?" tanya Kapper minta pendapat.

"Mumpung masih ada waktu tersisa dua bulan, kita harus mencari biaya tambahan. Kita bisa berjualan ketan goreng pagi hari, sepulang itu kita menakik karet ke kebun bantu tetangga, dan sore harinya kita bisa ke palabuhan memuat pasir ke dalam truk atau menceruk pasir dari sungai. Aku rasa cukuplah untuk mencari biaya masuk kuliah."

"Apa kamu yakin, Baidil?"

"Sejak aku diberi kesempatan hidup dua kali oleh Tuhan, sejak itu aku percaya Tuhan tidak akan meninggalakn kita."

"Iyaa, sejak dulu kamu selalu bilang, semua akan baik-baik saja, bukan?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline