Lihat ke Halaman Asli

Cerita Pertamaku

Diperbarui: 8 Oktober 2015   15:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mengekploitasi kesedihanku"

Ini adalah kisah lima hari yang lalu, malam Minggu, 3 Oktober 2015. Bagi kebanyakan orang, umumnya, malam Minggu identik dengan malam liburan, atau istilahnya akhir pekan, weekend. Dan, biasanya diisi dengan acara-acara bersama keluarga bagi yang sudah berkeluarga, atau jalan-jalan santai bagi mereka yang berjiwa "muda". 

Adalah sebuah pemandangan yang akan saya ceritakan. Ketika itu, saya bersama anak dan isteri baru saja selesai belanja dari pasar, membeli keperluan dapur untuk esok pagi, agar tidak terlalu repot belanja pagi, maksudnya. Saat melewati persimpangan jalan menuju rumah, mata saya melihat sebuah "fragmen" kehidupan. Mungkin bagi sebagian orang, hal ini biasa-biasa saja, tapi saya tetap akan menceritakan kepada anda.

Waktu menunjukan jam 20:00 WIB. Terlihatlah di pojok persimpangan jalan raya, di bawah lampu merah yang redup, penuh debu, apalagi saat ini musim kemarau terasa begitu panjang, hujan pun baru sebagian wilayah saja yang sudah mulai turun. Berisik karena raungan bunyi kendaraan bermotor yang juga menambah polusi, polusi udara juga polusi suara, seorang ibu setengah tua, berpakaian lusuh, sedang duduk beralaskan plastik seadanya, duduk menunggui sebuah gerobak yang berisikan barang bekas, dan setumpuk plastik bekas kemasan, apa saja. Di belakangnya, tepatnya di sampingnya seorang anak kecil, perempuan, mungkin usianya sekitar 6 atau 7 tahun, sedang asyik bermain pasir atau tanah disekitar ibunya, dia memasukan pasir ke gelas plastik bekas kemasan minuman ringan, kemudian memindakhkannya ke gelas plastik yang lain. Sesekali dia berkata sendiri, kemudian berkata kepada ibunya, manja, entah apa yang diceritakannya. Sekejap terlintas di benak saya, apakah anak itu tidak sekolah, atau mungkin juga sekolah, atau mungkin sebenarnya anak itu juga ingin sekolah?

Melihat dia bermain, apakah dia sedang bermain, ataukah dia juga ingin bermain dengan teman-temannya seperti layaknya anak-anak seusianya? 

Segala cerita dan bayangan terlintas di pikiran saya. Siapa yang ingin disalahkan? Orang tuanya? Keluarganya? Atau lebih jauh, pemerintah kah? Atau, nasib kah? Entahlah.

Saya hanya sempat berpikir, sudah sepantasnya saya bersyukur, bahwa saya dan keluarga diberikan kehidupan yang lebih beruntung, dibandingkan mereka. Mungkin!?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline