Kegagalan PDIP membendung perubahan atas revisi UU MD3 di Parlemen adalah bukti kegagalan PDIP dalam membangun komunikasi politik pasca ditetapkan sebagai pemenang pada pemilu legislatif. Revisi UU MD3 ini adalah upaya menjegal PDIP menjadi pimpinan DPR. Undang-undang sebelum revisi menyatakan bahwa partai pemenang pemilu otomatis menjadi pimpinan DPR, sementara pada edisi revisi, pimpinan DPR akan terlebih dahulu dipilih oleh anggota. Jadi besar kemungkinan kursi pimpinan (Ketua) DPR akan lepas dari PDIP dan jatuh ditangan koalisi merah-putih. Ini adalah sinyal serius yang harus segera diselesaikan oleh elit PDIP untuk memastikan jalannya pemerintahan Jokowi-JK berjalan secara efektif.
Kegagalan mengendalikan parlemen di DKI telah menyebabkan jalannya pemerintahan Jokowi-Ahok kurang maksimal dan dalam beberapa hal terkendala secara serius.
Angin kemenangan Jokowi-JK pada pilpres kali ini atau kemenangan Jokowi-Ahok pada pilkada DKI lalu lebih banyak ditentukan oleh ‘suara rakyat’ bukan semata-mata hasil mesin politik partai. Hal ini bisa dilihat misalnya dari dukungan resmi parpol koalisi pada pilpres 2014 (PDIP, PKB, Nasdem, Hanura dan PKPI) yang hanya 40,09% dan hanya 15.9% dukungan parpol untuk Jokowi-Ahok di Pilkada DKI. Kemenangan ‘Suara Rakyat’ ini tidak akan berarti apa-apa jika pada akhirnya suara di parlemen lah yang justru akan menentukan arah dan kelangsungan pemerintahan.
Meskipun pada dasarnya kita menganut sistem pemerintahan Presidensil dimana kebijakan dan jalannya pemerintahan berada ditangan presiden namun pada kenyataannya ada beberapa sektor kunci yang menjadi domain parlemen, budgeting misalnya. Akibat Parlemen yang didominasi ‘oposisi’ APBD DKI baru di sahkan pada tanggal 22 Januari 2014 atau hampir terlambat satu bulan dari biasanya. Terlambatnya pengesahan APBD DKI tahun anggaran 2014 itu mengakibatkan hampir semua program pembangunan Kota Jakarta terlambat dimulai. Bisa dibayangkan jika ini terjadi dalam kontek APBN.
Suara parlemen yang hanya 40,09% di DPR jelas bukan fakta yang bagus untuk Jokowi-JK. Jika elit PDIP tidak berhasil ‘membajak’ sebagian anggota koalisi merah-putih-nya Prabowo (yang baru saja akan mendeklarasikan diri dalam koalisi permanen) maka apa yang telah terjadi di DKI akan terulang dalam konteks nasional. Koalisi permanen sendiri berarti bahwa koalisi sebelumnya disiapkan untuk memenangkan pasangan Prabowo-Hatta dalam pilpres akan berlanjut menjadi ‘koalisi oposisi’ di parlemen jika Prabowo-Hatta kalah dalam pilpres.
Masalahnya apakah memungkinkan untuk ‘membajak’ sebagian anggota koalisi merah putih untuk menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi-JK? Jika memungkinkan kira-kira partai mana yang akan ‘desersi’? untuk menjawab ini marilah kita sejenak kembali ke masa-masa awal pembentukan koalisi pilpres.
PDIP dan Jokowi bukan tidak pernah menjalin komunikasi dan mencoba menarik beberapa partai untuk bergabung, namun rupanya kue yang ditawarkan kurang menarik. Jokowi dalam beberapa kesempatan berulang kali menyatakan bahwa koalisi yang dibangunnya adalah koalisi tanpa syarat. Saya mengartikannya sederhana, tanpa syarat berarti tanpa menentukan jatah kursi cawapres dan mentri.
Tawaran ini tentu saja tidak menarik untuk partai papan tengah (PAN, PKS, PPP) apalagi untuk partai papan atas (Golkar dan Demokrat ). Budaya bagi-bagi kursi dan politik dagang sapi telah menutup peluang Jokowi menambah anggota koalisia. Bergabungnya Nasdem, PKB, Hanura dan PKPI dengan persyaratan ‘tanpa syarat’ menjadi keputusan yang menarik sekaligus memulai budaya baru untuk mengakhiri politik dagang sapi yang pada akhirnya akan menyandera kepentingan nasional yang lebih besar menjadi kepentingan partisan. Terpilihnya Jusuf Kalla menjadi pendamping Jokowi setidaknya menjadi bukti tentang berjalannya ‘persyaratan tanpa syarat’ itu. Pendamping Jokowi bukan dari partai pendukung koalisi.
Sekarang, setelah dikeroyok koalisi besar Jokowi-JK unggul diberbagai penghitungan cepat (QC). Tidak ada pilihan untuk semua partai kecuali untuk berhitung ulang akan pilihan politiknya pasca pilpres. Akankah tetap bersama koalisi merah-putih menjadi oposisi atau membelot demi kepentingan pragmatis?
Jika melihat background ideologis partai, maka hanya ada dua poros, Islam dan Nasionalis. Golkar dan Demokrat termasuk yang paling mungkin membelot karena persamaan ‘ideologi’nya. Partai-partai Islam semacam PKS, PPP dan PBB kecil kemungkinan membelot disamping karena perbedaan ideologis, resistensi dari internal PDIP akan deras sebab mereka termasuk yang paling kencang ‘menyerang’ dari sisi sentiment keagamaan. Lagipula PKS dan PPP akan kesulitan untuk menjelaskan kepada konstituen jika pada akhirnya harus mengambil pilihan bergabung dengan koalisi pimpinan ‘Cina Kristen yang berasal dari keluarga eks PKI’.
Pilihan Demorat yang ‘nyaris netral’ di pilpers kemarin merupakan sinyal bahwa demokrat pada awalnya ingin bermain aman. Masih banyaknya pesoalan hukum yang melibatkan elit demokrat seperti dugaan keterlibatan Ibas di Hambalang dan Bailout Century yang belum clear memaksa demokrat untuk memilih tidak berpihak, pilihan tanpa resiko. Namun melihat trend elektabilitas Jokowi yang terus turun dan naiknya elektabilitas Prabowo (ditambah sedikit beban psikologis ‘besanan’ SBY-Hatta) membuat Demokrat tergoda untuk memutuskan berpihak dimenit-menit akhir.
Kemungkinan bergabungnya Demokrat ke kubu PDIP bukan tanpa kendala. Hubungan Mega-SBY yang dingin bertahun-tahun butuh waktu untuk mencairkannya. Disamping itu, seperti disinggung diatas, demokrat hari ini bukan seperti demokrat pada pilpres 2009 yang hadir laksana mojang priangan. Demokrat hari ini adalah demokrat yang membawa noda disekujur tubuhnya, mulai dari kepala hingga kaki. PDIP tentu tidak mau tersandera oleh proses hukum yang masih akan berjalan menelanjangi Demokrat di masa depan.
Namun satu hal yang tidak boleh luput dari pengamatan adalah bahwa Demokrat hari ini adalah mereka yang masih berkuasa. Demorat (SBY) masih menguasai birokrasi hampir disemua lini termasuk dua institusi vital TNI dan Polri. Selisih hasil hitung cepat yang tipis, bisa dijadikan senjata oleh Demokrat (SBY) dalam menaikan daya tawarnya. Saya menduga, PDIP (Megawati) pada akhirnya akan bersikap realistis. Terlalu besar juga resiko bagi SBY jika bertindak bodoh dengan mengingkari hasil hitung cepat. Lagi pula menyelamatkan Demokrat bukan harga yang terlalu mahal bagi Megawati yang bisa jadi beberapa kasus PDIP sudah di tangan SBY.
Hal menarik lainnya adalah mengamati kemungkinan apa yang akan terjadi pada partai Golkar. Sebagai partai yang punya tradisi kuat berada dalam lingkar kekuasaan, Golkar bukan saja tidak pernah punya pengalaman beroposisi namun tidak pernah punya ‘nyali’ beroposisi. Tidak adanya ‘nyali’ dan pengalaman beropoisi ditambah sikap oportunisnya selama ini lah yang membuat golkar menjadi ‘partai aneh’. Partai pemenang kedua pileg yang memilih bergabung menjadi supporter partai yang dikalahkannya.
Bukan hal mengejutkan jika nanti, setelah Jokowi-JK ditetapkan sebagai pemenang akan terjadi chaos di tubuh Golkar. Jusuf Kala yang notabene masih aktif sebagai anggota senior Golkar akan dengan mudah memecah dan mengambil alih nahkoda golkar.
Jika skenario ini terjadi, maka Gerindra, PAN, PKS dan PPP akan menjadi oposisi yang kekurangan tenaga. Mungkin istilah lainnya macan ompong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H