Lihat ke Halaman Asli

Ke Mana Sebaiknya PKS Pascapilpres?

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oposisi
Dalam demokrasi, menjadi oposisi itu sama terhormatnya. Bedanya, oposisi bersifat 'positif pasif' sementara pemerintah 'positif aktif'. Artinya nilai positif oposisi dinilai dari kemampuannya 'mengawasi', sedangkan pemerintah dinilai dari kemampuannya 'menjalankan'. Oposisi yang menjalankan fungsinya dengan baik tentu akan mendapatkan apresiasi dari rakyat. Lebih penting lagi, pemerintah berpeluang 'gagal' sementara oposisi 'nyaris tidak akan pernah gagal'.

Keuntungan selanjutnya dari menjadi oposisi bagi PKS yaitu terkonsolidasinya elit dan tumbuhnya lagi ghirah atau gairah perjuangan di level elit. Dengan menjadi oposisi maka dualisme PKS 'keadilan' dan 'kesejahteraan' akan melebur dengan sendirinya.

Sejarah PKS adalah sejarah tentang perjuangan kader, bukan elit. PKS tidak lahir dari 'tokoh' dan PKS sejatinya tidak memerlukan 'tokoh'. Prestasi PKS yang fenomenal di 2004 dengan lompatan 600% suara nyaris dilakukan tanpa menjual 'ketokohan'. Modal mereka adalah kerapihan organisasi, soliditas kader, dan kerja nyata. Jika ada faktor lain yang menunjang keberhasilan luar biasa itu adalah posisi PKS saat itu sedang berada diluar kekuasaan alias sedang 'beroposisi'. 'Kegagalan' pemerintahan Megawati harus dibayar dengan hilangnya 40% suara PDIP dan naiknya hampir semua partai 'oposisi' terutama PKS.

Sejak kemenangan gemilang di Tahun 2004 itu PKS seperti kehilangan orientasi. Tampak selalu ingin berada didalam lingkar kekuasaan dan terlihat naif pada beberapa kasus dimana PKS harus berseberangan dengan kebijakan pemerintah yang didukungannya sendiri.

Setidaknya ada empat peristiwa di mana PKS berseberangan dengan pemerintah yaitu pada kasus Century, pembahasan sistem KPU, deponerring Bibit-Chandra, dan pemilihan ketua KPK. Puncaknya terjadi pada saat pembahasan kenaikan harga BBM pada pertengahan 2013 lalu. Anehnya bahkan setelah setengah diusir pun PKS tetap tidak berani keluar dari koalisi. Sayang sekali, padahal itu adalah momen yang sangat tepat untuk konsolidasi persiapan pemilu 2014.

Keengganan PKS keluar dari koalisi ini tidak terlepas dari tarik menarik kepentingan antar elit dan semakin tergantungnya PKS pada sumber logistik. Seolah-olah ada keyakinan pada lapisan elit jika PKS berada di luar pemerintahan maka akan 'habis'. Meta persepsi di kalangan internal bahwa PKS adalah partai Islam murni (PPP oleh sebagian kader PKS tidak dianggap cukup islami) dan oleh sebab itu tidak boleh tumbuh dan harus mati menjadi penyakit mental yang mendera kader, membuat paranoid dan melemahkan. Saya khawatir isu ini akan selalu dimanfaatkan terutama oleh sebagian elit PKS yang menikmati langsung kue kekuasaan.

Jika mengacu kepada pemilu-pemilu pasca reformasi maka jelas anggapan itu tidak berdasar. Tiga kali pemilu yang diselenggarakan pasca reformasi pada 2004, 2009 dan 2014 memberikan gambaran secara umum bagaimana partai yang berada di luar pemerintahan justru berhasil meningkatkan suaranya, (pengecualian untuk Demokrat pada 2009). Sebaliknya, selama dua periode PKS berada dalam pemerintahan SBY dan dua kali pemilu, PKS gagal meningkatkan raihan suara dan stagnan pada angka delapan jutaan pemilih. Ini artinya 'massa potensial' PKS sudah pada titik jenuh. Namun begitu, angka delapan juta pada pemilu terakhir yang berlangsung di tengah badai yang mendera PKS bisa dikatakan sebagai angka 'jenuh positif' di mana suara itu bisa dikatakan sebagai 'suara aslinya' atau 'suara ideologisnya' PKS yang tidak akan terpengaruh lagi oleh badai apa pun. Tinggal sekarang bagaimana menambah 'angka pasti' itu dengan memancing 'suara bebas'.
Swing voter dan Golput
Hampir semua partai punya basis massanya sendiri yang tidak mungkin diambil dengan cara yang instan. 14% suara PDIP pada pemilu 2004 bisa dikatakan sebagai suara aslinya dari pemilih tradisional PDIP di mana PDIP saat itu babak belur akibat blunder kebijakan pemerintahan Megawati. Begitu pun dengan Golkar, PPP, PKB, PAN dll. masing-masing memiliki prosentasenya sendiri. Butuh waktu dan usaha ekstra untuk meyakinkan pemilih tradisional ini berpaling.

Setidaknya ada dua lumbung suara yang bisa dipakai untuk mendulang suara di luar suara tradisional ini, yaitu suara yang berasal dari golongan putih atau golput dan massa mengambang alias swing voter.

Golput setidaknya hadir karena tiga alasan. Pertama 'golput teknis' yaitu menjadi golput disebabkan karena kendala teknis seperti tidak terdaftar atau tidak memenuhi syarat administrasi. Kedua 'golput ideologis' yaitu menjadi golput karena pilihan politik dan ideologi. Terakhir 'golput skeptis', golput dari golongan orang-orang yang kehilangan harapan dan kepercayaan. Ketiga golput ini jumlahnya sekitar 30% atau lebih besar dari partai mana pun.
'Golput ideologis' akan sulit diarahkan karena basisnya jika tidak dari pemikiran kritis maka berasal dari kalangan dogmatis. Sementara golput teknis lebih kepada persoalan administrasi yang mulai bisa diperbaiki dan diminimalisasi. Pada golput skeptislah partai bisa memaksimalkan sebagai lumbung suara. Prediksi saya jumlah potensial suara yang berasal dari golput skeptis ini adalah yang terbesar dibanding dua jenis golput lainnya. Jika diasumsikan jumlahnya 60% saja dari keseluruhan jenis golput maka potensi suaranya bisa mencapai 17%. Jika pemilik hak pilih ada 180 juta-an, maka ada potensi suara dari golput skeptis ini lebih dari 30 juta.

Sumber suara kedua yang paling mungkin diambil yaitu dari para pemilih mengambang alias swing voter, yaitu mereka yang belum menentukan pilihan. Artinya para pemilih jenis ini adalah mereka yang tidak terikat secara emosional, ideologis, maupun primordialis.

Potensi suara dari swing voter ini besar sekali, antara 30-40%. Tergantung kapan survei dilakukan. Semakin dekat dengan waktu pemilihan maka semakin mengecil prosentasenya. Namun demikian data ini tetaplah menarik bahwa ada potensi suara nontradisional yang tidak terikat dan cair.
PKS tiga besar
Target masuk tiga besar bukanlah hal yang mustahil buat PKS. Delapan juta (7%) suara 'pemilih tetap' dapat meningkat setidak-tidaknya menjadi dua kali lipat dengan syarat;
1. Konsolidasi elit dan revitalisasi jaringan kader. Elit harus mampu 'memasarkan' PKS melalui media mainstream dan kader menggarap akar rumput dengan aksi-aksi nyata.
2. Membangun imej atau branding sebagai partai yang membela kepentingan rakyat. Ini bisa dilakukan dengan konsisten menjadi partai oposisi. PDIP berhasil melakukan ini melalui dua kali pemilu, konsisten menjadi oposisi, tidak tergoda kue kekuasaan dan berhasil rebound secara sempurna dengan keluar sebagai partai pemenang pileg dan pilpres.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline