Lihat ke Halaman Asli

Catatan (menjelang) Ahir Tahun 2011

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Belum tuntas kasus kerusuhan dan pembantaian di Papua, muncul lagi kasus serupa di Mesuji Lampung dan sekitarnya. Pun belum tuntas, kini media disibukkan dengan kasus yang lagi-lagi serupa dengan deretan kasus-kasus diatas, kerusuhan dan pembantaian di Bima NTB. Dan tidak menutup kemungkinan masih banyak kasus serupa dibelahan bumi Indonesia yang tidak terliput oleh media, mungkin terlalu banyaknya atau bahkan sengaja disembunyikan oleh oknum tertentu. Parahnya (dan mudah-mudahan kali ini salah) adalah serangkaian deretan kasus yang saling terkait motifnya (sumber : dari beberapa media). Seribu satu alasan yang mungkin dibenarkan dan mungkin pula disalahkan. Belum lagi kasus pidana korupsi yang tertumpuk bertindihan tanpa ada penyelesaian akar masalahnya, satu kasus belum selesai, mengantri kasus-kasus yang berdesakan “ingin segera” diliput media. Sebagai contoh, kasus Century, kasus Gayus Tambunan, kasus Nazarudin dan masih banyak lagi. Seperti halnya diatas, belum terselesaikan, muncul dan muncul lagi kasus-kasus baru yang serupa. Kasus lain seperti kemelut olah raga, kisruh reshuffle kabinet pemerintah, dan lain-lain. Dengan kemampuan media yang lihai mencium dan menangkap serangkaian kasus (tanpa di sortir dan disensor) bermanuver dari satu kasus ke kasus yang lain disuguhkan dimuka publik dengan atau tanpa intrik, sangat vulgar, luar biasa. Yang ingin saya sampaikan disini adalah bukan menyoal kasus kerusuhan kekerasan pembantaian atau sederet kasus tindak pidana korupsi yang tak kunjung reda, biarlah itu semua difahami dan tentunya diselesaikan oleh pihak yang seharusnya bertanggung jawab. Tetapi jauh dari itu adalah peranan media yang beraksi liar luar biasa. Disaat bangsa ini baru belajar berdiri, dijejali dengan konsumsi virus menyebar, tayangan dan tontonan yang (kita semua sama-sama setuju) secara langsung atau tidak langsung berdampak ciutnya mental rakyat bangsa ini. Menabur pesimistis disegala penjuru, menumbuhkan mental-mental negatif. Maka tidak heran jika suatu saat kasus yang terurai diatas akan terulang dimasa mendatang, mungkin dengan modus, motif dan intrik yang berlipat-lipat hebatnya dari sekarang. Betapa tidak, dari melihat, mendengar, mendiskusikan dan diulang berkali-kali oleh media yang dengan lugasnya menggambarkan, mengilustrasikan bahkan memaparkan secara terang dan jelas visualisasi dari kasus-kasus diatas, baik saksi mata yang tidak berpihak, gambar atau video yang ditayangkan, sangat vulgar, ditambah lagi media yang terkesan “meng-kompori”. Lantas, pantaskah peristiwa atau kejadian luar biasa ini layak dikonsumsi oleh rakyat awam kebanyakan yang tidak tahu-menahu soal ketidaknormalan bangsa ini? Dan bukannya (lagi-lagi) pemerintah beserta jajarannya yang terkena imbasnya (walaupun tidak semua baik). Dampaknya, ya tidak lain dan tidak bukan adalah kewibawaan Kedaulatan Bangsa ini yang tercoreng, baik didalam maupun diluar negeri. Memang demokrasi, bebas mengumumkan dan mempublikasikan apapun sesuka hati. Tetapi bukankah kedaulatan bangsa ini lebih pinting? Sangat bijak sekiranya kasus-kasus besar dan kasar diatas dikonsumsi dan ditelaah oleh orang (maaf) besar dan kasar pula. Orang awam seperti kami, cukuplah disuguhi tayangan dan tontonan positif tentang kesejahteraan hidup. Missal tentang pertanian, cara menanam dan memanen yang baik, cara menjual yang baik dan sebagainya. Atau penyuluhan penghijauan beserta dampak positifnya. Atau sosialisasi olah raga dengan membumikan bersepeda untuk mengurangi polusi. Atau kiat KB agar pertumbuhan masyarakat bangsa ini seimbang dan terkendali. Dan yang terpenting adalah pendidikan, semisal pendidikan Pancasila berikut pemaparan makna dan ulasan visi dan misinya, tidak lupa pendidikan enterpreneur. Tentunya dengan tayangan dan tontonan yang positif akan berimbas pada pola fikir yang positif pula bukan? Dan sebaliknya tentunya. Saya dan anda tentu sefaham jika media adalah hiburan temporary dari kesibukan rutinitas hidup, melupakan tekanan-tekanan dan menghilangkan beban barang sejenak. Yang diharapkan adalah tayangan dan tontonan yang menghibur tentunya sebagai fitrah media. Baiklah, untuk sebagian kalangan tertentu merasa terhibur dengan tayangan dan tontonan diatas (walaupun saya tahu, terpaksa dihibur-hiburkan saja), tetapi lagi-lagi untuk kaum pinggiran seperti saya dan kebanyakan malah terkesan menambah beban hidup dengan meracuni otak dan fikiran negatif. Memang ada sebagian media yang tidak terlalu banyak sibuk tentang tayangan dan tontonan “besar dan kasar” seperti rangkaian kasus diatas, tayangan dan tontonan alternatif menurut saya, gossip selebriti, boomingnya musik boyband dan girlband dan bius pesona sinetron yang aduhai luar biasa. Kalau boleh memilih, saya pilih kantong kresek, karena semuanya (maaf) “sampah”. Lalu rakyat bangsa ini harus mencari hiburan dimana? Yang semurah media di Indonesia saat ini, tentunya yang mendidik dan berkualitas? Apakah harus bertanya pada “Ayu Ting Ting?” atau bertapa saja seperti “Bang Toyib?”. Santai bang, yang terahir hanya bercanda. Intermezzo mengendurkan urat syaraf yang tegang. Tarik nafas dulu bang, biar lega ah… :D Karawang, 26 Desember 2011. Pkl 12.16 Wib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline