Lihat ke Halaman Asli

Grace Oktavia

Mahasiswi

Gender dalam Hubungan Internasional: Kesetaraan Gender dan Hak-Hak Perempuan

Diperbarui: 28 Juli 2023   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada tahun 2022, komitmen terhadap isu-isu mulai dari keadilan ekonomi dan hak-hak hingga gerakan dan kepemimpinan feminis, perlu diterjemahkan ke dalam tindakan. Itu berarti membangun jembatan di antara komunitas dan area masalah, seperti iklim. Ini juga berarti melanjutkan model baru dari keterlibatan multistakeholder dan multilateralisme feminis, antara lain dengan memanfaatkan kekuatan dan energi para pemimpin muda, sektor korporasi, dan pemerintah nasional yang berdedikasi.

"Selama beberapa dekade, para aktivis yang tak kenal lelah dan teruji telah menunjukkan kepada kita bahwa kita harus mendukung gerakan hak-hak perempuan yang kuat, independen, untuk menghapuskan kekerasan terhadap anak perempuan. Sekarang, komunitas pendanaan dan advokasi yang lebih luas mulai berinvestasi dalam hal ini." Michelle Milford Morse (Wakil Presiden untuk Girls and Women Strategy, UN Foundation).

Gender dalam hubungan internasional memiliki kontruksi yaitu perbedaan laki-laki dan perempuan yang dikontruksikan dan disosialisasikan di berbagai belahan Negara. Gender juga dapat masuk di berbagai sektor, baik sektor politik, sosial, budaya, hukum, dll. Diskursus gender dapat masuk dalam hubungan internasional adalah dengan melihat bahwa perempuan dan laki-laki itu berbeda, berbeda baik secara jenis kelamin dan dibedakan lagi secara gender. Artinya karena perempuan dikonstruksikan pasif, lemah, dan emosional. Sedangkan laki-laki dikontruksikan kuat, bijak dalam mengambil keputusan, dan logis maka dengan ini menimbulkan konstruksi yang tidak seimbang/ketimpangan. Dalam hubungan internasional pada saat ini terkait gender ini hanya dilihat dari tempatnya dimana dalam artian aktor gender dalam hubungan internasional ini adalah Negara, tetapi pada jaman sekarang tidak hanya negara yang menjadi aktor gender dalam hubungan internasional akan tetapi individu.

Ketidakadilan gender ini biasanya bermula dari kesenjangan gender dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam akses pendidikan dan sumber ekonomi. Hal ini karena adanya stereotype bahwa perempuan lemah, dan hanya bisa menerima. Isu feminisme dan gender kian meloncak ketika dikaitkan dengan hubungan internasional. Sejak tahun 1990, teori-teori tentang feminis dan hubungan internasional sudah mulai tumbuh dan berkembang (Jacqui True, 2001). Teori ini mencoba untuk melawan dominasi dari kaum pria yang dianggap berlebih. Bersama dengan teori kritis postmodernisme, konstruktivisme dan green politicts feminisme mencoba untuk bersaing dengan teori-teori mainstream seperti realis dan liberalis. Seperti halnya teori-teori kontemporer lain, feminisme membahas hubungan internasional lebih jauh dari fokus tunggal pada hubungan antar Negara menuju analisis komprehensif aktor transnasional dan struktur dan transformasinya dalam politik global.

Hubungan feminisme dengan ranah hubungan internasional kian memuncak ketika feminisme hadir dengan berbagai pendekatan yang dimilikinya. Pendekatan yang pertama yakni liberal feminisme yang merupakan suatu pandangan yang mempercayai tentang adanya peranan oleh perempuan pada dunia politik dan pendekatan ini pada dasarnya bersifat mempertanyakan kembali mengapa wanita memiliki batasan-batasan di dunia. Teori Liberal Feminisme ini membahas tentang keinginan perempuan dan laki-laki harus disama ratakan dalam mencari keuntungan dalam bidang politik dan lain sebagainya.

Pendekatan yang kedua yakni Marxis Feminisme yang merupakan pendekatan yang lebih mengarah kepada pembahasan sistem kapital internasional. Pendekatan yang kedua ini lebih memandang pada penindasan yang diberikan pada perempuan adalah merupakan hasil dari kapitalisme. Marxis Feminisme ini juga memandang kapitalisme dan patriarki sebagai struktur yang harus dibendung jika para perempuan menginginkan suatu persamaan derajat.

Pendekatan yang ketiga yakni Post-Modernis Feminisme, yang merupakan pendekatan yang lebih berfokus kepada jenis kelamin. Post-Modernis Feminisme ini beranggapan bahwa perempuan seharusnya berada pada posisi yang sebaliknya jika ditinjau dari keadaan sekarang. Pendekatan yang ketiga ini menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki dapat disatukan dalam dunia politik untuk membangun dunia politik bersama-sama dan saling berdampingan.

Dan yang keempat yakni Standpoint Feminisme, pendekatan yang terakhir ini lebih pada dasarnya hanya berfokus kepada kritik yang dilakukan oleh Ann Ticker, yang melakukan kereksi terhadap dominasi yang dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap ilmu pengetahuan yang ada didunia, sehingga muncul anggapan bahwa ilmu pengetahuan yang ada sekarang hanya dipandang dan berdasar dari sudut pandang laki-laki saja. Ticker beranggapan bahwa dengan melakukan kritik ini akan membuat penjelasan ulang mengenai six objective principle yang ada pada politik internasional yang telah dikembangkan oleh Hans Morgenthau yang berdasar kepada pandangan perempuan terhadap dunia. Dari teori-teori yang telah dikembangkan oleh para pakar diatas dapat dilihat bahwa gender mengacu pada perilaku dan ekspektasi yang secara sosial dipelajari yang memisahkan antara maskulinitas dan empat feminitas (Peterson dan Runyan, 1999).

Isu gender dan feminisme tidak hanya berkutat pada hubungannya dengan internasional semata tanpa keterlibatan penuh yang diagendakan dan upaya agar gender dan feminisime menjadi bagian integral dalam isu-isu internasional, termasuk dalam hal ini tentang politik keamanan internasional. Teori-teori feminis, sebagai alat kaum wanita untuk memperjuangkan hak-haknya erat berkaitan dengan konflik kelas dan ras, khususnya konflik gender. Feminis, khususnya masalah-masalah mengenai perempuan, pada umumnya dikaitkan dengan emansipasi, gerakan kaum perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, baik dalam bidang politik dan ekonomi, maupun gerakan sosial budaya pada umumnya. Selain itu persamaan hak yang diinginkan oleh kaum perempuan juga datang dari permasalahan tubuh perempuan yang selalu menjadi objek.

Artikel ini sebagai salah satu syarat Tugas II Mata Kuliah Teori Hubungan Internasional dengan Dosen Pengampu: Fadlan Muzakki, S.IP., M.Phil., LLM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline