Pendidikan adalah suatu hal yang selalu menarik untuk dibicarakan dan tak habis-habisnya untuk dikaji sepanjang peradaban manusia, maka sepanjang itu pula pendidikan selalu dibutuhkan dan diperlukan. Pendidikan sudah menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan umat manusia. Mengingat pentingnya pendidikan baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka bangsa Indonesia dalam menyusun program pembangunan tetap memberikan perhatian khusus pada sektor pendidikan.
Manusia adalah pribadi yang utuh serta kompleks sehingga sulit dipelajari secara tuntas. Oleh karena itu, masalah pendidikan tidak akan pernah selesai diperbincangkan. Sebab hakekat manusia itu sendiri selalu berkembang mengikuti dinamika kehidupan. Apa yang dipelajari hari ini belum tentu berguna di tempat lain. Oleh sebab itu pendidikan tetap memerlukan inovasi-inovasi yang relevansi dengan kenyataan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan tidak mengabaikan nilai-nilai manusia, baik sebagai nilai sosial maupun sebagai nilai religius
Sejalan dengan itu, sejak tahun pelajaran 2006/2007, pemerintah kembali memperkenalkan kurikulum baru yang lebih dikenal dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai jawaban dari gagalnya kurikulum-kurikulum sebelumnya dalam mengatasi tingginya buta aksara di Indonesia. Harus diakui bahwa, tingginya buta aksara di Indonesia adalah sebuah fenomena sosial yang harus kita terima. Padahal pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanahkan mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang menjadi masalah sekarang, apakah dengan perubahan kurikulum tersebut akan menimbulkan pertanyaan “Beginikah Pendidikan Indonesia?” atau memunculkan pernyataan “Inilah Pendidikan Indonesia”
Jika dicermati lebih jauh pasti dalam benak kita akan lahir pertanyaan dan bukan pernyataan. Padahal, jika pertanyaan yang muncul pasti kesan negatif yang terkandung didalamnya. Namun, mesti diapa lagi kenyataan seperti itu yang terjadi di negeri yang tercinta ini.
Sejak beberapa tahun yang lalu pengembangan dan peningkatan akses pelayanan pendidikan luar sekolah (PLS), dianggap sebagai solusi yang tepat mengatasi tingginya buta aksara. Dibentuklah beberapa kelompok seperti kelompok keaksaraan fungsional, kelompok belajar usaha, taman belajar bermain, pendidikan anak usia dini, kejar paket A, kejar paket B, kejar paket C, dll. Namun, apakah kita tidak berpikir bahwa kejar paket A yang dianggap setara SD, kejar paket B setara dengan SMP dan kejar paket C yang setara dengan SMA pada dasarnya telah merusak pendidikan Indonesia. Kenapa bisa? Kejar paket A/B/C ternyata telah memberi keuntungan yang sangat besar pada segala aspek (kecuali kualitas), sehingga banyak orang yang hanya jebolan kejar paket C dapat menjadi wakil rakyat, wakil dari mereka yang lulusan S1 atapun S2/S3.
Bukan bahan lelucon lagi disaat mereka yang lulus dipendidikan formal dipimpin oleh mereka yang tamat dipendidikan nonformal. Kenapa dari sini kita tidak pernah berpikir bagaimana kulitas mereka? Bagaimana jadinya jika disuatu saat nanti lulusan kejar paket C mengajar di Pascasarjana? Bahkan, penulis khawatir, dimasa yang akan datang pemerintah kembali membentuk kejar paket D yang setara dengan program diploma atau kejar paket E yang setara dengan progran strata, hingga akhirnya pendidikan di Indonesia berakhir dengan PAKET KEJAR-KEJARAN
Tanda-tanda pendidikan di Indonesia mengarah ke Paket Kejar-Kejaran pun dewasa ini mulai terlihat. Dalam suatu kesempatan, penulis pernah melihat surat keputusan dari seorang guru honorer yang tidak masuk akal. Guru tersebut tamat SMA pada bulan Juni 2005, namun telah diperbantukan sebagai guru honor pada bulan Juli 2004. Mustahil bin ajaib bukan? Atau adakah diantara pembaca yang mampu menjawab teka-teki ini? Usut punya usut, ternyata surat pengangkatan guru honorer tersebut adalah –“SK. Siluman”– untuk keperluan mendaftar CPNS dan/atau untuk melanjutkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta. Celakanya Instansi Pendidikan punya andil didalamnya.
Makanya, jangan heran ketika seorang guru masuk mengajar, di dalam kelas terlihat sepucuk surat sakti dari seorang siswa memberikan informasi bahwa yang bersangkutan sakit tapi ternyata malah keluyuran ke tempat ramai. Itu disebabkan karena kita sendiri yang mengajarkan demikian.
Dalam benak penulis, selalu hadir 1001 tanda tanya. Beginikah Pendidikan Indonesia? Bagaimana dengan pembaca? Dunia pendidikan kita sudah dibelenggu dengan “kejahatan yang tidak dirasakan”. Berdukalah dunia pendidikan, Inna Lillahi Wainna Ilaihi Rajiun.
(Tulisan serupa dapat dibaca di bloh penulis: http://campus-cemara.blogspot.com/2008/08/beginikah-pendidikan-indonesia.html)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H