Lihat ke Halaman Asli

Tasya Auliya Rizka

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dampak Persaingan Senjata di Semenanjung Korea terhadap Stabilitas Keamanan Asia Tenggara, Implikasi bagi Indonesia

Diperbarui: 8 September 2024   13:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Persaingan senjata di Semenanjung Korea telah menjadi isu yang mendalam dan rumit sejak Perang Korea pada tahun 1950-an. Ketegangan yang berlangsung antara Korea Utara dan Korea Selatan saat ini semakin meningkat, diperparah oleh pengembangan senjata nuklir dan peluncuran rudal balistik oleh Korea Utara. Ketegangan ini tidak hanya mengganggu stabilitas kawasan tetapi juga menarik perhatian internasional, dengan banyak negara, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, terlibat dalam upaya diplomatik untuk meredakan ketegangan.

Dampak dari persaingan senjata ini meluas hingga ke Asia Tenggara, mengingat kawasan tersebut memiliki posisi strategis yang sangat terpengaruh oleh perubahan dalam keseimbangan kekuatan regional. Implikasi tersebut meliputi peningkatan aliansi militer, arus investasi dalam keamanan, serta perubahan dalam kebijakan luar negeri di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Untuk memahami secara mendalam bagaimana persaingan senjata di Semenanjung Korea mempengaruhi Asia Tenggara dan Indonesia, penting untuk melihat beberapa studi kasus yang mengilustrasikan dampak konkret dari ketegangan regional ini. 

Data terkini menunjukkan bahwa ketegangan regional dapat berdampak luas hingga ke Asia Tenggara. Dalam karyanya "The Arms Race in Contemporary East Asia," Andrew T.H. Tan menjelaskan bahwa persaingan senjata di Semenanjung Korea memiliki dampak luas bagi kawasan Asia Tenggara. Ketegangan yang berkepanjangan antara Korea Utara dan Korea Selatan, terutama yang melibatkan program senjata nuklir dan pengembangan teknologi militer canggih, dapat memicu reaksi dari negara-negara tetangga. Negara-negara Asia Tenggara mungkin merasa perlu untuk meningkatkan kemampuan pertahanan mereka atau memperkuat aliansi strategis mereka sebagai respons terhadap potensi ancaman yang ditimbulkan oleh ketidakstabilan di Korea.

Lebih jauh lagi, persaingan senjata di Semenanjung Korea dapat mempengaruhi dinamika kekuatan regional secara keseluruhan. Ketika negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China, dan Rusia terlibat dalam upaya untuk mempengaruhi situasi di Korea, kebijakan dan tindakan mereka sering kali memiliki implikasi langsung bagi Asia Tenggara. Misalnya, keterlibatan AS dan China dalam memperkuat aliansi dan meningkatkan pengaruh mereka di kawasan ini bisa memicu perlombaan senjata regional yang lebih luas, memaksa negara-negara Asia Tenggara untuk menyesuaikan strategi keamanan mereka dalam menghadapi perubahan lanskap geopolitik yang kompleks.

Penambahan arsenal militer dan pengembangan teknologi senjata canggih oleh Korea Utara berpotensi memicu perlombaan senjata di Asia Timur dengan cara yang signifikan. Ketika Korea Utara meningkatkan kapasitas militernya, negara-negara tetangga seperti Jepang dan Korea Selatan akan merasa terancam untuk memperbarui dan memperluas sistem pertahanan mereka guna menghadapi ancaman yang dirasakan. Teori neo-realisme memandang ini sebagai bentuk balance of power.

Hal tersebut mendorong negara-negara tersebut untuk menginvestasikan lebih banyak hal dalam teknologi militer dan memperkuat aliansi strategis dengan kekuatan besar seperti Amerika Serikat. Akibatnya, ketegangan dan persaingan yang meningkat di Asia Timur menciptakan ketidakpastian dan potensi risiko spillover yang dapat merambat ke Asia Tenggara. Negara-negara di kawasan tersebut, termasuk Indonesia, akan menghadapi dampak dari ketegangan ini melalui peningkatan risiko konflik regional, gangguan dalam rantai pasokan global, atau potensi meningkatnya ancaman keamanan seperti terorisme dan radikalisasi, yang semuanya dapat merusak stabilitas dan keamanan regional.

Aliansi militer yang semakin kuat antara Korea Selatan dan Amerika Serikat memperkenalkan sejumlah faktor yang dapat menambah kompleksitas strategi keamanan regional dan mempengaruhi negara-negara seperti Indonesia dengan berbagai cara. Pertama, peningkatan aliansi militer ini sering kali disertai dengan peningkatan kehadiran militer AS di kawasan Asia Timur, seperti penambahan pangkalan militer atau sistem pertahanan rudal canggih. Keberadaan militer asing yang lebih besar dapat menambah ketegangan antara kekuatan regional, termasuk Korea Utara, yang mungkin melihat kehadiran ini sebagai ancaman langsung. Reaksi dari Korea Utara terhadap kehadiran AS dan Korea Selatan yang meningkat dapat memicu tindakan balasan yang tidak hanya berdampak pada kawasan Semenanjung Korea tetapi juga pada kawasan yang lebih luas, termasuk Asia Tenggara. 

Kedua, peningkatan kerjasama militer dapat memperburuk perlombaan senjata di Asia Timur. Negara-negara lain di kawasan, yang merasa terancam oleh dinamika ini, bisa memperkuat kemampuan militer mereka sendiri. Hal ini menciptakan ketidakstabilan tambahan yang dapat merambat ke Asia Tenggara, di mana negara-negara seperti Indonesia perlu meningkatkan pengeluaran pertahanan dan berinvestasi lebih dalam strategi mitigasi ancaman.

Ketiga, aliansi yang lebih erat antara Korea Selatan dan AS dapat meningkatkan kemungkinan spillover konflik. Jika terjadi konfrontasi besar di Semenanjung Korea, meskipun tidak langsung terlibat, negara-negara Asia Tenggara bisa menghadapi dampak ekonomi dan keamanan, seperti gangguan perdagangan atau lonjakan aliran pengungsi. Selain itu, ketegangan yang meningkat sering kali memicu aksi terorisme atau radikalisasi, yang dapat menargetkan kepentingan atau aset asing, termasuk di Indonesia.

Keempat, intensifikasi aliansi juga dapat mempengaruhi pola kerja sama regional. Negara-negara Asia Tenggara dapat terpaksa memilih posisi antara aliansi yang berbeda atau terjebak dalam persaingan antara kekuatan besar, yang dapat mengganggu kerjasama regional yang konstruktif dan menambah ketegangan dalam hubungan internasional.

Menyadari hal tersebut, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan multi-faceted yang meliputi beberapa strategi konkret. Pertama, Indonesia harus memperkuat kapasitas pertahanan nasional dengan meningkatkan kemampuan intelijen dan sistem pertahanan untuk menghadapi potensi ancaman. Kedua, memperluas kerja sama regional melalui forum seperti ASEAN dan meningkatkan diplomasi dengan negara-negara utama di Asia Timur serta mitra internasional, guna membangun mekanisme mitigasi krisis dan memperkuat ketahanan bersama. Ketiga, Indonesia perlu meningkatkan upaya dalam bidang pencegahan terorisme dan radikalisasi dengan memperkuat kerangka kerja keamanan domestik serta berpartisipasi aktif dalam inisiatif kontra-terorisme di tingkat regional dan global. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline