Lihat ke Halaman Asli

Islam Mazhab Bising

Diperbarui: 8 Juli 2015   01:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada satu sekte dalam Islam yang melakukan ritual sekali setahun bertepatan dengan jatuhnya bulan Ramadhan. Saya menyebutnya Mazhab Bising, dengan penganut bernama Muslim Berisik. Saya tidak tahu sejak kapan bermula dan dari mana muasalnya, tapi sejauh ini, Mazhab Bising sepertinya hanya berkembang di Indonesia. Amalan-amalan penting dari kaum Muslim Berisik berkisar pada teriakan, suara-suara gaduh dan ledakan, dengan berbagai instrumen seperti bedug, petasan, corong serta pelantam masjid.

Bulan Puasa sudah lewat pertengahan, dan hampir setiap malam hingga subuh tiba, saya melewatinya dengan perasaan terganggu, tidak nyaman, merasa bersalah, dan kasihan. Merasa bersalah karena ketergangguan tersebut lahir dari orang-orang yang berpredikat sama seperti saya; dan merasa kasihan kepada mereka yang membutuhkan istirahat, orang tua lanjut usia, anak bayi, orang sakit, dan terlebih non-muslim yang membutuhkan nyenyak tidur.

Pada awalnya saya cukup bergembira dengan himbauan Pak Jeka pada saat jelang Ramadhan perihal pengaturan peredaman sistem suara yang dikeluarkan masjid dan mushalla. Tapi himbauan itu sepertinya tak tampak pengaruhnya. Masih ada dan berlangsung setiap malam, teriakan-teriakan yang diniatkan membantu orang-orang untuk bangun sahur (baca: membantu mereka yang belum juga mampu mandiri bahkan dalam urusan personalnya dengan Tuhan). Ibadah, dalam pahaman saya, adalah jalan sunyi bagi manusia untuk berhadapan “satu lawan satu" dengan Tuhannya. Tidak perlu campur tangan orang lain. Meski ada argumentasi skolastik terhadap amar ma’ruf nahi munkar, namun jangan sampai kita terjebak pada salah tafsir atas frasa ini. Bagaimanapun sebelum amar ma’ruf dijalankan, perlu ditinjau efek sosial yang didampakkan dari ibadah tersebut.

Kaum Muslim Berisik seringkali lupa (atau tidak tahu?) perihal hirarki hukum: dari wajib, sunnah, mubah, makruh, hingga haram. Tidak ada cerita, bahwa membangunkan orang untuk sahur adalah sebuah kewajiban, atau bahkan sekedar dihukumi sebagai fardhu kifayah. Penelusuran saya perihal rantai transmisi (sanad) terhadap amalan ini menemui jalan buntu. Ulama mana gerangan yang pertama kali memfatwakan anjuran membangunkan orang-orang untuk makan sahur dengan cara sebising-bisingnya, segaduh-gaduhnya. Perilaku pra-sahur dan segala macam “keributan” sepanjang Ramadhan itu tidak terkodifikasi dalam kitab-kitab fiqh klasik. Entah kenapa kaum bigot yang suka membid’ahkan dan mengkafirkan orang lain cenderung diam dalam hal ini. Atau mungkin ngantuk?

Di sisi lain, mengganggu ketentraman orang lain hukumnya malah haram. Bukankah Islam adalah rahmat semesta? Bagaimana caranya menyandingkan kata “rahmat” terhadap tindakan pembisingan lingkungan secara serempak dengan memukul rata anggapan bahwa semua penduduk sekitar adalah orang yang butuh dibangunkan.

Coba sidang pembaca sekalian bayangkan, kalau mau diukur juga boleh, berapa jumlah polusi suara yang dihasilkan dalam waktu bersamaan dari kurang lebih dua juta toa masjid di seluruh Indonesia yang berteriak memecah keheningan, melontarkan kebisingan tepat di jantung malam, di waktu puncak kenikmatan sedang diraih oleh orang yang tidur, yang dalam bahasa kekinian, di waktu bobo sedang cantik-cantiknya. Rentang nilai kebisingan yang dihasilkan kaum Muslim Berisik setiap malam berada pada kisaran 80 - 100dB. Dampaknya bisa menimbulkan gangguan fisiologis. Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila terputus-putus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi, konstruksi pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki. Bising dengan intensitas tinggi dapat merangsang reseptor vestibular di dalam telinga yang akan menimbulkan efek pusing/vertigo. Ulah Muslim Berisik juga dapat menimbulkan gangguan psikologis. Kebisingan dalam jangka waktu yang lama bahkan dapat menyebabkan penyakit psikosomatik. Bayangkan non- muslim tetangga kita selama sebulan setiap tahun berada dalam kondisi ini. Kita, yang beragam islam, mungkin akan ngamuk (tentu karena dominasi mayoritas) jika dalam hening malam tidur kita diinterupsi teriakan*, “Nyepiiii... nyepiii..., nyeepii... nyeeepiii...” atau “Nataaal... nataal..., nataal... nataal...” yang diiringi kloneng kloneng lonceng gereja. (*Meneriakkan “Nataal” dan “Nyeepiii” ini disepertikan irama “Sahuur... sahur...” yang diiringi bedug)

Yang diajak Tuhan untuk berpuasa adalah orang yang beriman, dengan harapan menghasilkan output takwa, baik ketakwaan personal ataupun ketakwaan sosial. Silahkan lekatkan dua predikat ini kepada kaum Muslim Berisik. Dapet?

***

Semakin ke sini, pergeseran makna dari Bulan Ramadhan kian melebar jauh, beralih menjadi ke lebih pada peristiwa budaya, semacam karnaval yang meniscayakan perayaan. Kembang api, petasan, hiruk pikuk dua puluh empat jam acara televisi, fashion, kuliner, serta segala macam lini kehidupan dirayakan. Dan karena ini kemudian menjadi peristiwa budaya, maka selanjutnya terjadi pemakluman atas semua perilaku dan kebiasaan-kebiasaan di dalamnya. Tahun ke tahun, masa ke masa, hingga menjadi watak zaman dan berangsur-angsur menjadi “kewajiban”. Di fase ini terjadi gagal paham, tidak semestinya setiap perayaan melulu melahirkan hiruk pikuk kebisingan.

Ramadhan yang sesungguhnya adalah bulan ujian. Selama ujian berlangsung, biasanya ada pengumuman bertuliskan “Harap Tenang, Ada Ujian”. Jadi siapa pun, baik peserta ujian ataupun orang yang berada di sekitar lingkungan pelaksanaan ujian, wajib menjaga diri dari segala hal yang dapat mengganggu konsentrasi peserta dalam menjalani ujian. Sejatinya, semua pihak berada dan mengalami keheningan di dalam ruang reflektif masing-masing. Makanya, berpijak pada anak tangga argumen tersebut, ada satu ulama yang mengharapkan keheningan Nyepi bisa diadaptasi oleh kaum Muslim (termasuk, maksud saya utamanya, Muslim Berisik) ke dalam ibadah Puasa. Hening, khusyu’.

Saya sempat kepikiran, jangan-jangan saat Idul Fitri yang disebut sebagai hari kemenangan itu, pemenangnya malah jatuh kepada non-muslim karena saking sabarnya menjalani Ramadhan. Lha gimana caranya (yang ngaku) muslim itu mau mendaku diri sebagai pemenang, wong menjalani ujiannya aja ngga bener...

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline