Lihat ke Halaman Asli

academiclegal

ORGANISASI

Urgensi Penegakan Hukum Progresif Sebagai Upaya Penyelamatan Keuangan Negara Dan Mengembalikan Kerugian Negara Dari Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

Diperbarui: 19 Januari 2025   20:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nesabamedia.com https://sl.bing.net/gzkXDFQkBoa

OLEH ADAM ANDROMEDA M. AJI

UNIVERSITAS PAKUAN FAKULTAS HUKUM BOGOR

Tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerugian negara cukup besar. Indonesia perlu menerapkan cara berhukum yang khusus untuk memerangi korupsi agar aset hasil korupsi yang dikuasai pelaku dapat dikembalikan. Realitas menunjukan nilai kerugian negara jauh lebih besar dibandingkan dengan uang yang berhasil dikembalikan ke negara. Perkembangan modus operandi tindak pidana korupsi dalam menyembunyikan aset hasil korupsi mengharuskan dalam menerapkan strategi penegak hukum progresif dengan melaksanakan 2 (dua) langkah strategis yaitu: (1) melakukan tindakan rule breaking dalam bentuk tindakan penyitaan terhadap aset terdakwa untuk jaminan pembayaran kerugian negara; (2) hakim memberikan putusan contra legem berupa kewajiban membayar uang pengganti tanpa subsider yang didahului dengan sita jaminan sehingga nantinya akan menutup ruang terdakwa untuk lepas dari pembayaran uang pengganti. 

Pendahuluan

Korupsi tentunya tidak asing lagi bagi sebagian besar orang. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2016). Diartikan juga korupsi mendorong apa yang seharusnya menjadi kebaikan bersama (common good) kearah kepentingan partikular (Gunardi Endro, 2017:147). Dampak korupsi tidak hanya merugikan individu namun merugikan banyak orang, baik itu masyarakat bangsa dan negara sehingga korupsi perlu perbaikan secara moral dan semua elemen terlibat secara aktif memerangi korupsi. Perbuatan korupsi berdasarkan UU PTPK Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Thn 2001, korupsi adalah tindakan pejabat publik: - Melawan hukum melakukan tindakan untuk menguntungkan diri sendiri atau pihak lain atau suatu badan usaha yang berpotensi untuk merugikan negara atau keuangan negara (Psl. 2) - Menyalahgunakan jabatan atau kedudukan melalui penyimpangan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada serta berpotensi merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Psl. 3). 

Korupsi saat ini telah menjadi pusat perhatian dunia internasional, terbukti Perserikatan Bangsa-bangsa secara serius mengadakan konferensi internasional yang membahas masalah korupsi. Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offender menunjukan bahwa masyarakat internasional mengakui bahwa korupsi telah bersifat transnasional. Bagi Indonesia masalah korupsi telah menjadi persoalan yang cukup sulit diatasi karena telah menjangkit seluruh aspek kehidupan masyarakat bahkan sikap tegas para penegak hukum belum efektif untuk menurunkan angka tindak pidana korupsi (Setiadi, E dan Yulia, 2010). Perbuatan korupsi saat ini semakin meluas seperti yang diberitakan di berbagai media, padahal berbagai usaha penegakan hukum baik pencegahan maupun penindakan telah dilakukan (Kristiwan, 2016). 

Kasus korupsi sendiri sudah sangat meresahkan bangsa Indonesia. Berdasarkan hasil Survei partisipasi masyarakat menunjukan 98% menilai bangsa Indonesia berada di kondisi dengan kategori kasus korupsi yang memprihatinkan dan 72% korupsi karena terdapat proses penegakan hukum yang tidak tegas dan serius (Komisi Pemberantasan Korupsi, 2018:19). Realitas yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masih berkutat pada masalah peneyelewengan terhadap keuangan yang masih tetap tinggi, hal ini juga seiring dengan ramainya kasus-kasus korupsi yang mencuat. Permasalahan yang timbul bersumber utama dari birokrasi organisasi pemerintahan yang gendut dalam rangka menjalankan tugas negara dan pemerintahan, selain itu juga tatanan organisasi dan tata kelola dari pemerintah pusat yang kurang baik juga diperparah dengan kompetensi aparatur pemerintah yang memprihatinkan menyebabkan rawan untuk terjadinya korupsi (Ismail, 2021:2). 

Negara telah menderita kerugian finansial yang cukup besar akibat perilaku korupsi dan apabila kerugian itu tidak dikembalikan maka kondisi tersebut merupakan sebuah ketidakadilan. Aset hasil tindak pidana korupsi saat ini disinyalir masih berada di bawah penguasaan pelaku korupsi atau pihak-pihak lain yang ikut membantu pelaku, kondisi ini tidak patut dan tidak etis untuk dibiarkan terus menerus, sehingga negara harus mengambil kembali aset-aset tersebut dari pelaku korupsi atau pihak ketiga yang tidak memiliki itikad baik (Imelda, 2016). 

Pembahasan

Korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang dilakukan orang terpelajar menimbulkan problematika tersendiri yang tidak mudah diatasi penegak hukum, sebagai kejahatan terorganisir penyebaran tanggung jawab hukum pelaku cukup luas, begitu pula penempatan aset yang tidak mudah dilacak menimbulkan kesulitan tersendiri dari segi hukum acara, kalaupun ditemukan asset hasil korupsi telah dialihkan kepada pihak ketiga yang tentunya tidak bisa dirampas begitu saja kecuali dilakukan penuntutan terhadap pihak-pihak tersebut. 

Untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera dan menciptakan pemerintahan yang bersih maka upaya memberantas korupsi merupakan langkah prioritas dengan menerapkan pola dan strategi penegakan hukum yang khusus (Hiariej, 2016). Korupsi telah membuat kesejahteraan rakyat terganggu dan mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi negara, sehingga korupsi memerlukan penanganan secara khusus Strategi khusus yang perlu ditempuh adalah dengan mengubah paradigma berhukum Kepolisian, Kejaksaan, KPK maupun Pengadilan untuk berhukum secara progresif yang tidak hanya mengedepankan penjatuhan sanksi pidana penjara semata melainkan perlu mengoptimalkan pengembalian kerugian negara melalui perampasan asset dan pidana uang pengganti. Untuk itu sejak awal penyidikan aparat penegak hukum harus lebih mengutamakan kepentingan untuk pengembalian kerugian negara (follow the money), namun patut dicatat bahwa praktik follow the money harus dilakukan secara komprehensif dengan melacak seluruh aset tersangka sampai ke luar negeri mengingat salah satu faktor penghambat tidak maksimalnya pengembalian kerugian negara karena pelaku menyimpan aset di luar negeri. 

Hukum acara dan sistem peradilan Indonesia sangat memberikan pengaruh terhadap keberhasilan upaya mengembalikan hasil korupsi. Pelaku bisa memanfaatkan berbagai celah yang ada dalam sistem hukum yang mengakibatkan mereka bisa lolos dari sanksi untuk mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi. Menegakan hukum progresif untuk mengembalikan kerugian negara membutuhkan keberanian penegak hukum untuk keluar dari status quo yang tidak memberikan rasa keadilan bagi negara sebagai korban karena penegakan hukum yang selama ini berjalan hanya menjalankan prosedur hukum formal yang mengarah pada keadilan formal. Setidaknya ada 2 (dua) alasan urgen menerapkan hukum progresif dalam pemberantasan korupsi. Pertama, pelaku korupsi sudah mencakup semua kalangan dan modus operandi yang semakin variatif tidak bisa lagi diatasi dengan caracara penegakan hukum yang konservatif. Kedua, data empiris yang ada menunjukan terjadi kesenjangan antara kerugian negara yang timbul dengan aset yang berhasil dikembalikan, kerugian negara jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang dikembalikan mengindikasikan bahwa penegak hukum tertinggal dari peristiwa pidana yang menjadi objeknya, sehingga paradigma berhukum yang diterapkan tidak cukup dengan menerapkan hukum secara legalistik yang bersifat rijid dan kaku. Perampasan aset secara hukum bertujuan untuk mengantisipasi perbuatan pidana yang dilakukan dengan memanfaatkan uang hasil korupsi sekaligus mengambil kembali aset tersebut dari penguasaan pelaku korupsi. Di samping sebagai tindakan pencegahan perampasan aset juga menjadi salah satu instrumen sanksi yang untuk mencapai tujuan pemidanaan terutama untuk kejahatan korupsi sebagai bagian tindak pidana ekonomi (economy crime). Masalah pengembalian aset belakangan ini menjadi isu menarik dalam khazanah hukum pemberantasan korupsi sehingga mendorong institusi penegak hukum mengeluarkan regulasi yang bersifat teknis untuk mengatur tata cara pengembalian aset.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline