Lihat ke Halaman Asli

academiclegal

ORGANISASI

Teori Labeling dan Self-Fulfilling Propechy Faktor Utama Penyebab Residivisme?

Diperbarui: 13 Januari 2025   15:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 Oleh DWI SEKAR ARUM

UNIVERSITAS PAKUAN BOGOR,

       Residivisme atau Residivis merupakan tindakan kriminal yang dilakukan oleh seseorang yang sebelumnya telah mendapatkan hukuman pidana berdasarkan keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Pengulangan tindak pidana ini terjadi ketika individu telah menyelesaikan masa hukuman dan kembali ke masyarakat, kembali melakukan tindak pidana untuk kedua kalinya. Menurut Hukumonline, Residivis adalah seseorang yang kembali melakukan kejahatan yang sama atau yang dianggap sejenis oleh undang- undang dalam waktu lima tahun sesuai dengan ketentuan dalam Buku ke-II BAB XXXI Pasal 486, 487, dan 488 KUHP. Pemberatan pidana terhadap residivis mengacu pada ketentuan tersebut, di mana ancaman pidana maksimal ditambah sepertiga dari hukuman yang dijatuhkan. Pemberatan ini berlaku jika memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti mengulangi kejahatan yang sama atau sejenis, terdapat putusan hakim antara kejahatan yang satu dan yang lain, hukuman yang dijatuhkan adalah penjara (bukan kurungan atau denda), dan dilakukan dalam waktu tidak lebih dari lima tahun setelah menjalani hukuman sebelumnya.

        Menurut data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada Februari 2020, terdapat 18,12% residivis dari total 268.001 tahanan dan narapidana. Di antara narapidana, sebanyak 204.185 di antaranya merupakan residivis. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa residivisme bisa terjadi? 

        Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab pengulangan tindak pidana (residivisme). Faktor-faktor ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dapat meliputi: 

1. Krisis Indentitas Yang Disebabkan oleh stigma dalam masyarakat Masyarakat seringkali memberi label negatif kepada mantan narapidana, seperti "Penjahat" atau "Kriminal" meskipun mereka telah menjalani masa hukuman dan seharusnya diberikan kesempatan untuk memulai hidup baru. Proses pemberian label ini sesuai dengan Teori Labeling yang dikemukakan oleh Edwin M Lemert, yang menyatakan bahwa label negatif yang diterima individu dapat menyebabkan mereka berperilaku menyimpang. Label ini tidak hanya memengaruhi bagaimana orang lain memandang individu tersebut, tetapi juga bagaimana individu itu memandang dirinya sendiri. Ketika masyarakat terus-menerus menandai mereka dengan label tersebut, individu yang terstigma cenderung merasa bahwa mereka tidak dapat diterima kembali oleh masyarakat atau tidak bisa mengubah persepsi orang lain. Akibatnya, mereka mungkin merasa tidak punya pilihan lain selain kembali ke perilaku kriminal sebagai cara untuk menghadapi diskriminasi sosial yang terus-menerus mereka alami. Proses ini berhubungan erat dengan konsep self-fulfilling prophecy dalam psikologi sosial, yaitu ketika ekspektasi atau keyakinan negatif yang diterima individu dari lingkungan sekitar menjadi kenyataan. Robert K. Merton, seorang sosiolog yang memperkenalkan konsep self-fulfilling prophecy (SFP) pada tahun 1948 menjelaskan bahwa konsep ini merujuk pada situasi di mana keyakinan atau anggapan yang tidak benar dapat mempengaruhi tindakan seseorang, sehingga keyakinan tersebut pada akhirnya menjadi kenyataan. Ekspektasi buruk masyarakat terhadap mantan narapidana seperti asumsi bahwa mereka pasti akan kembali berbuat kejahatan seringkali mempengaruhi mantan narapidana untuk bertindak sesuai dengan harapan 3 tersebut. Hal ini dapat menyebabkan mereka merasa terisolasi, kehilangan harga diri, dan akhirnya mendorong mereka untuk melakukan kejahatan lagi karena mereka merasa tidak ada harapan untuk perubahan dan mereka merasa dilabeli sebagai "kriminal" seumur hidup.

 2. Kepribadian yang rentan dan kurangnya kontrol diri Kepribadian yang rentan, cenderung agresif, emosional, dan sensitif, serta kurangnya kontrol diri, membuat individu mudah terjerumus kembali ke dalam kejahatan. Sifat agresif dan emosional tanpa pengendalian diri yang kuat dapat mendorong mereka melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma dan hukum. Stigma sebagai 'mantan pelaku kejahatan' juga memengaruhi perilaku mereka dan memperburuk perasaan rendah diri. Tanpa kontrol diri yang baik, mereka lebih mudah dipengaruhi oleh pergaulan buruk yang meningkatkan risiko terlibat kembali dalam kejahatan. disamping itu, residivis juga memiliki faktor eksternal yang dapat dijabarkan sebagai berikut: 

1. Faktor Ekonomi dan Lingkungan

 Menurut Dwi Ade Kanti dan Sarah Hartati dalam jurnalnya yang berjudul "Konsep Residivisme Dan Faktor Penyebabnya" menjelaskan bahwa kondisi ekonomi memiliki dampak yang besar terhadap terulangnya tindakan kejahatan. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa keadaan ekonomi keluarga mantan narapidana tidak mengalami perbaikan. Terlebih lagi ketika individu tersebut sulit mendapatkan pekerjaan akibat SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) yang seringkali menjadi salah satu persyaratan penting untuk melamar pekerjaan, mencatat mantan narapidana sebagai individu yang pernah terlibat dalam tindakan kriminal. Akibatnya, mereka mungkin merasa terpaksa untuk kembali melakukan kejahatan. Menurut Teori Dif erential Association yang dikemukakan oleh Erwin H. Sutherland dan D. Cressey (Soekanto, 1997), 4 seseorang cenderung berperilaku jahat karena mereka mempelajari perilaku tersebut melalui interaksi dengan orang lain. Perilaku jahat ini dipelajari dari lingkungan sosialnya, di mana individu tersebut terpengaruh oleh orang-orang yang memiliki kecenderungan bertindak melawan norma-norma hukum yang berlaku. 

2. Faktor Keluarga dan Kesehatan Mental 

Menurut Wenny Hulukati dalam jurnalnya yang berjudul "Peran Lingkungan Keluarga terhadap Perkembangan Anak", lingkungan keluarga merupakan pilar utama dalam membentuk baik buruknya pribadi seseorang, agar dapat berkembang dengan baik dalam aspek etika, moral, dan akhlaknya. Kurangnya dukungan emosional dari keluarga setelah individu menyelesaikan masa tahanannya bisa membuat mereka merasa terasing dan kehilangan tempat untuk berbagi. Perasaan terisolasi dapat meningkatkan beban mental, mendorong stres dan depresi. Tanpa dukungan keluarga meningkatkan risiko mereka kembali terlibat dalam kejahatan. Mereka cenderung mencari cara untuk mengatasi perasaan kesepian dan ketidakberhargaan, dan merasa tidak ada perubahan jika mereka kembali berbuat salah. Ketika merasa diabaikan oleh keluarga dan masyarakat, mereka semakin yakin bahwa tindak kejahatan tidak akan mempengaruhi keadaan mereka, sehingga meningkatkan kemungkinan kejahatan residivis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline