Lihat ke Halaman Asli

Penutupan Rute Balkan: Pertaruhan Integritas Uni Eropa terhadap Krisis Pengungsi

Diperbarui: 2 Desember 2023   15:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tahun 2015 merupakan tahun yang berat bagi negara-negara di Eropa. Adanya perang saudara di Suriah dan Irak, serta kemunculan Arab Spring yang memicu pertikaian antar etnis di Timur Tengah menimbulkan banyaknya imigran baru yang berusaha mencari tempat baru yang lebih aman. Negara-negara di Eropa, khususnya Eropa Utara dan Eropa Barat menjadi destinasi utama para imigran dari negara-negara Timur Tengah tersebut. Pemilihan negara-negara di Eropa sebagai tujuan para pencari suaka tersebut karena negara-negara di Uni Eropa memiliki citra yang baik terhadap imigran masuk. Akan tetapi, perjalanan melalui laut akan menjadi perjalanan yang sangat berbahaya dan memakan waktu yang sangat lama. Maka dari itu, para imigran tersebut memilih jalur darat, yakni melewati negara-negara Balkan Barat.

Sejak 2012, para imigran dari Timur Tengah banyak memasuki Eropa melalui Turki, kemudian berlanjut menuju Yunani hingga mencapai tujuan utama para imigran, yakni Jerman dan negara-negara Eropa lainnya. Penggunaan jalur darat semakin meningkat ketika Uni Eropa menangguhi pembatasan visa di Albania, Bosnia dan Herzegovina, Montenegro, dan negara-negara balkan lainnya. Akan tetapi, penangguhan tersebut justru membawa Uni Eropa menuju masalah baru. Pada 2015, angka imigran dan pencari suaka yang masuk ke wilayah Eropa semakin tinggi. Sebagai contoh, Swedia pada tahun 2015 menerima sekitar 169 ribu permintaan suaka. Peningkatan permintaan suaka secara pesat menimbulkan banyak protes dari masyarakat Eropa, khususnya negara-negara Balkan, yang paling terdampak dengan adanya rute Balkan tersebut. Protes tersebut didasarkan pada alasan keamanan dan ekonomi. 

Masyarakat Eropa merasa ragu bahwa para imigran mampu beradaptasi terhadap gaya hidup di negara baru, dan juga khawatir bahwa dengan memfasilitasi imigran dalam jumlah besar, akan mengakibatkan masalah baru, yakni krisis keuangan di negaranya. Protes tersebut kemudian berubah menjadi desakan untuk menutup Rute Balkan, yang didukung oleh 15 negara di Benua Eropa. Krisis ini kemudian bertambah parah ketika pada Maret 2016, negara-negara Balkan menutup perbatasannya, sebagai respon dari desakan terkait penutupan rute Balkan.

Penutupan rute Balkan kemudian  memecah Eropa menjadi dua bagian, yakni negara yang pro terhadap penutupan rute, dan negara yang kontra terhadap hal yang sama. Menteri Dalam Negeri Austria, Johanna Mikl-Leitner menyambut baik penutupan Rute Balkan dengan mengatakan bahwa kebijakan tersebut telah berperan dalam menjaga stabilitas dan ketertiban penduduk Eropa. Penutupan rute Balkan juga dirayakan oleh Donald Tusk, Presiden Uni Eropa. Tusk mengucapkan terima kasih atas inisiatif negara Balkan dalam mengimplementasikan strategi Uni Eropa dalam menanggulangi krisis pengungsi yang terjadi di Eropa. 

Akan tetapi, Kanselir Jerman, Angela Merkel, sangat menentang penutupan rute Balkan. Melalui stasiun radio Jerman MDR, Merkel mengungkapkan kekecewaan terhadap respon negara-negara Uni Eropa mengenai penutupan Rute Balkan, terutama respon Tusk yang dianggap tidak peduli terhadap dampak jangka panjang yang akan dialami Yunani. 

Merkel menuturkan kritik terhadap Tusk dengan mengatakan "Anda tidak menyelesaikan masalah dengan mengambil langkah unilateral" dan menambahkan bahwa penutupan rute Balkan dapat mereduksi jumlah pengungsi masuk, tetapi menyebabkan kesulitan pada negara Yunani. Perkataan Merkel kemudian menjadi kenyataan. Penutupan rute ini menyebabkan banyak pengungsi terjebak di Yunani, dan tidak dapat bergerak kemana pun. Para pengungsi kemudian ditampung ke Kamp Pengungsian Idomeni, dengan infrastruktur yang kurang layak. Yunani benar-benar berada di ujung tanduk. 

Para pengungsi tersebut tidak dapat didistribusikan ke negara manapun, bahkan Turki secara tegas menolak distribusi pengungsi tersebut, dan ketidakjelasan status para pengungsi di kamp tersebut justru menimbulkan banyaknya imigran yang melakukan perjalanan ilegal menuju Makedonia. Merkel kemudian memberikan solusi untuk mengurai arus dan jumlah pengungsi dengan cara melibatkan Turki ke dalam pembahasan mengenai krisis imigran pada KTT. Akan tetapi, Turki justru melayangkan beberapa tuntutan sebagai syarat agar Turki menyanggupi untuk menampung kembali pengungsi yang telah terjebak di Yunani. 

Melalui Ahmed Davutoglu, Perdana Menteri Turki, negara ini meminta dana enam miliar Euro, serta akses Visa Schengen bagi warga negara Turki, yang dianggap tidak memiliki korelasi terhadap permasalahan pengungsi dan hanya mementingkan kepentingan negara Turki saja. Bagaimanapun, Uni Eropa kemudian menjanjikan kompensasi sebesar 3 miliar Euro. Kompensasi tersebut kemudian dianggap sebagai hal yang remeh oleh Erdogan, dan justru mengancam akan mengirim gelombang pengungsi yang besar menuju Eropa.

Permasalahan mengenai krisis imigran di Eropa menjadi permasalahan yang mempertaruhkan integritas Uni Eropa terhadap permasalahan imigran. Sebagai organisasi antarnegara dengan banyak negara anggotanya telah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap penutupan rute Balkan menjadi pertentangan dan ambiguitas bagi komitmen terhadap konvensi tersebut. Konferensi Tingkat Tinggi yang dilakukan juga seperti tidak menyelesaikan masalah pengungsi secara menyeluruh, melainkan hanya untuk mengembalikan integritas dan citra baik Eropa yang telah ada bertahun-tahun sebelum krisis pengungsi terjadi. 

Hingga saat ini, implementasi yang dilakukan oleh Uni Eropa, berupa pembatasan jumlah imigran masuk dan melakukan proses pemulangan kembali warga negara Suriah dan Irak yang tidak diterima permintaan suakanya tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah-masalah krisis pengungsi seperti masalah penumpukan imigran di kamp-kamp di Yunani, imigran ilegal, dan juga masalah perataan fasilitas dan sanitasi yang didapatkan para pengungsi di seluruh negara Eropa. Sekuritisasi yang dilakukan Uni Eropa terhadap imigran menjadi gagal dan justru menimbulkan masalah-masalah baru, baik pada hubungan internal antarnegara maupun hubungan bilateral antara Uni Eropa dan Turki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline