Lihat ke Halaman Asli

Ulul Rosyad

Jangan hanya melihat dan menilainya, hampiri dan ikut prosesnya, Dan kau akan tau bagaimana Rasanya

Polemik Piwulang 'Manunggaling Kawula-Gusti' yang Justru Berserakan Ajaran tentang 'Budi Pekerti'

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jika mendengar ajaran Manunggaling Kawula-Gusti (Panteisme), kita akan terbayang tokoh-tokohnya yang kontroversial. Diantaranya al-Hallaj dan tentunya yang tak kalah tersohor Syekh Siti Jenar. Sudah umum diketahui Syekh Siti Jenar adalah seorang yang dianggap sufi dan juga salah seorang peyebar agama islam di Pulau Jawa. Tidak banyak yang mengetahui secara pasti asal usulnya. Dari cerita tutur di masyarakat terdapat banyak versi cerita mengenai asal usul Syekh Siti Jenar. Pendek kata, dalam tulisan ini saya tidak membahas dari mana tokoh yang “dianggap” sesat karena ajarannya, yaitu Manunggaling Kawula-Gusti oleh sebagian umat islam ini. namun sebagian lain menganggap, Sang Syekh ini adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi islam itu sendiri. Ajaran-ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya. Meski dianggap kontroversial, ajaran yang paling mulia dari Syekh Siti Jenar adalah ajaran tentang “budi pekerti”.

Ajarannya Syeik Siti Jenar yang paling kontroversial berkait denga konsepnya adalah tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh satu ini memandang bahwa kehidupan manusia disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.

Konsekuensinya, ia tidak adapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negera danlainnya), tidak termasuk didalamnya hukumsyariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. Dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa manusia di dunia ini tidak ahrus memenuhi rukun islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya,syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. Syekh ini juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu ada di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu. Mirip dengan konsep Al-Hallaj seorang tokoh sufi islam yang di hukum mati pada awal sejarah perkembangan islam sekitar abad ke-9 masehi tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat manusia dan Tuhan. Pemahaman ketauidan harus dilewati melalui 4 tahapan:

1. Syariat. Dengan menjalanan hukum-hukum agama seperti shalat, zakat dan sebagainya.

2. Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu.

3. Hakikat, yaitu hakikat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan.

4. Makrifat, kecintaan kepada Allah dengan makna selaus-luasnya. Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan dibawahnya ditiadakan.

Mungkin saja, pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami setelah melewati ratusan tahun pascakematiannya sang Syekh. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam, yang pada masa itu ajaran islam yang harus disampaikan adalah pada tingkatan “syariat” sedangkan ajaran Siti Jenar sudah memasuki tahap “hakikat” dan bahkan “makrifat” kepada Allah (kecintaan dan pengetahuan yang mendalam kepada Allah). Bisa jadi, karena itu ajaran yang disampaikan Siti Jenar hanya dapat dibendung dengam kata “SESAT’.

Dalam pupuhya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus berdebat masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu agama apapun , setiap pemeluk sebenarnya mentyembah Dzat Yang Mahakuasa. Hanya masing-masing penyembah dengan menyebut nama yang berbeda-beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing-masing tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar.

Masih dalam pupuhnya, Siti Jenar juga menagajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.

Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenaryebut dirinya Tuhan. Manunggalin Kawula-Gusti dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan makhluknuya. Melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan kembali kepada Tuhannya, mausia telah menjadi bersatu dengan Tuhannya.

Dan dalam ajarannya, ‘Manungggaling Kawula-Gusti’ adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia. “Ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku; maka hendaknya kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya” (QS: Shaad : 71-72). Dengan demikian, ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan di kala penyembahan terhadap Tuhan terjadi.

Perbedaan penafsiran ayat Al-quran dari murid Syekh Siti Jenar inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan. Yaitu polemik paham ‘Manunggaling Kawula-Gusti’.

Piwulang ‘Manunggaling Kawula-Gusti’ atau Ajaran Bersatunya Manusia dengan Tuhan adalah ajaran jawa tentang tanggapan diri pribadi manusia (ciptaan) atas belas kasih atau welas asih Tuhan (Pencipta) yang berkenan menyertai setiap hati sejati manusia (Manunggaling Gusti Kawula).

Diyakini bahwa karena belas kasih-Nya, maka sejak manusia diciptakan. Tuhan selalu menyertai manusia sebagai ciptaan paling sempurna yang diutus menjadi “kepanjangan tangan Tuhan” supaya hidup rukun dengan sesama dan alam semsta sebagaimana diteladankan Tuhan. Karena kasih-Nya (Katresnan Dalem Gusti), Tuhan tidak otoriter, tetapi menghargai manusia sebagai pribadi utuh yang diberi kebebasan. Kebebasan inilah yang membuat perjalanan hidup manusia menjadi berbeda satu dengan yang lainnya.

Upaya pribadi manusia yang terbuka hatinya menanggapi “Manunggaling Gusti Kawula” ini dilakukan sendiri-sendiri atau berkelompok dengan laku glenikan sehinnga menghasilkan ngelmu klenik yang disebut ajaran piwulang atau kawruh “Manunggaliung Kawula-Gusti”.

Sejatinya pengetahuan manusia tentang “dirinya sendiri” masih sangat dangkal daripada “dirinya sendiri sejati” yang diberikan sang pencipta. Atau dengan kata lain, Sang Pencipta mengenal diri manusia lebih baik daripada manusia mengenal dirinya sendiri, Tuhan welas asih kepada manusia lebih daripada manusia mengenal dirinya sendiri.

Bahwa perbuatan yang selama ini dilakukan kepada Tuhan, sesama dan alam semesta yang menurut manusia sudah baik ternyata masih sebatas ragawi yang kasat mata penuh pamrih dan pilih kasih (emban cindhe emban siladhan) hanya untuk kepentingan manusia atau dirinya sendiri. Semoga tulisan yang masih tertalu banyak kekurangan ini menambah sedikit pengetahuan akan hakikat diri kita sebagai manusia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline