Lihat ke Halaman Asli

Ulul Rosyad

Jangan hanya melihat dan menilainya, hampiri dan ikut prosesnya, Dan kau akan tau bagaimana Rasanya

Kembali Belajar Menangis

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Gamang. Serasa aku kehilangan separuh jiwaku.sesuatu yang begitu berharga dalam hidupku. Tapi, apa? Lagi-lagi rinai hujan yang turun tak bisa berkata. Semua senyap dalam sabda alam. Aku berada pada satu titik ‘jenuh’ dalam perjalanan hidup ini. Yah, titik jenuh Mestikah aku berhenti sejenak. Sedang sang waktu terus mengejar tak henti. Ataukah harus aku hitung ulang jejak-jejak yang pernah ku tapak dan membuat rencana jejak selanjutnya. Atau mungkin juga peralatan perjalananku sudah tidak layak pakai. Bisa jadi sandal ini terlalu butut hingga kaki ini tidak nyaman lagi. Ternyata, aku telah berhenti disini. Tak mampu mengingat sesuatu yang berharga dalam hidupku. Serasa semua lengkap. Tak ada yang tertinggal. Aku kembali menatap diriku. Wajah itu terlihat semakin kusam tak secerah dulu, di awal perjalanan ini. Mungkinkah ini yang hilang? Cahaya wajahku…… Kata orang, tidak ada yang tidak berubah di dunia. Semua berubah, seperti halnya kupu-kupu. Sebelum menjadi kupu-kupu, ia hanya sebutir telur yang menetas menjadi ulat, terus menjami kepompong. Baru setelah itu menjadi kupu-kupu. Semua hal di dunia ini melakukan hal yang sama, berproses. Berubah dalan setiap detik yang ia lewati. Tapi, sesungguhnya ada yang tidak berubah di dunia ini? Apa yang telah kita perbuat di detik yang telah kita lewati, itulah yang tidak berubah. Kita tidak akan mungkin bisa mengubah kembali apa yang kita lalui. Mungkinkah itu yang hilang dari dadaku? Sebuah memori pada sebuah detik…..? Telah kuperas otakku. Mengingat-ingat kembali, pada detik ke berapa dari miliaran detik yang telah aku lalui, hilang dari dadaku. Ah, aku tak sanggup menginggat detik itu. Mungkin aaku terlalu sibuk memikirkan apa yang tidak aku dapat pada detik ini. Mestinya aku harus memikirkan rencana untuk mencapainya pada detik berikutnya. Semestinya… Ah..aku ingin menjerit saja, barangkali ini akan sedikit melegakanku. Aku semakin tak bisa membaca apa yang hilang dari diriku. Sampai pada detik ini. Mungkin aku harus belajar menangis . belajar menangisi sebuah kehilangan kadang kita butuhkan. Bukan berarti cengeng, atau tidak bisa bersikap tegar. Kadang air mata bisa menyelesaikan masalah. Namun, aku lupa kapan aku terakhir menangis? Atau mungkin ini yang hilang dari dadaku. Aneh, tiba-tiba ingin sekali menangis…. Tapi, aku tak bisa, serasa mata ini membatu, retina ini membeku. Tak luncur jua bulir-bulir kristal itu. Mengapa? Mengapa aku tak bisa menangis? Apa karena aku lelaki? Ada larangan? Lelaki tidak boleh menangis….? Mungkin mata ini telah mati. Sehingga tidak ada lagi air yang bisa ia alirkan. Bisa jadi sumurnya telah kering kerontang. Kemarau itu terlalu panjang melanda ladang hatiku. Seingatku, hujan turun lebat akhir-akhir ini. Gerimis acapkali meluncumkan poriku. Apa mungkin tetes-tetes air itu hanya mengalir, tak pernah terpendam dalam pori-poriku. Tak adakah sebatang akar pun yang mampu mengikat setetes pun dari ribuan rinai yang jatuh? Inikah yang hilang dari dadaku? Ah, aku lelah memikirkannya. Aku tak bisa menemukan sesuatu berharga yang telah hilang dari dadaku. Aku ingin berhenti memikirkannya. Aku ingin berhenti dan membiarkan saja yang hilang itu, hilang. Mungkin ia harus hilang……….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline