Lihat ke Halaman Asli

Ulul Rosyad

Jangan hanya melihat dan menilainya, hampiri dan ikut prosesnya, Dan kau akan tau bagaimana Rasanya

Baduy, Eksotisme Peradaban Ke XV yang Masih Bertahan

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1419089502241988741

[caption id="attachment_360780" align="aligncenter" width="526" caption="(Dok. Ulul Rosyad)"][/caption]


Entah mengapa Saat berada di Baduy dalam, malam hari akan terasa lebih lama dibandingkan biasanya, padahal baru sekitar jam 8 malam, tapi rasanya sudah seperti jam 12 malam. Ingin rasanya cepat bertemu dengan pagi, terlebih tak banyak yang bisa dilakukan apalagi tak ada listrik.

Ada yang menarik dan sekedar melengkapi tulisan saya sebelumnya di kompasiana ini. Ketika sedang asyiknya menikmati dengan segelas kopi hitam setelah makan malam, sempat saya iri melihat Mang Idong dan keluarga sedang asyiknya menyantap nasi plus mie instan dengan lauk ikan asin yang kami bawa dengan lahapnya. Mereka makan bersama dalam satu keluarga terdiri bapak, ibu, anak dalam sebuah pelepah pisang. mungkin makanannya biasa saja, tapi makan secara bersama-sama apalagi dalam satu wadah itu yang luar biasa. makan seperti itu dapat menghangatkan suasana keluarga juga membuatnya semakin dekat dan akrab.

Dari Cleo saya dapat informasi ketika di baduy dalam, percuma saja membawa sabun, odol, shampoo atau apappun itu untuk yang yang berjenis deterjen. Mereka (orang baduy dalam) memang sangat menghargai juga menjaga tanah dan sungai agar tetap alami dan bersih, sampai-sampai bahan deterjen pun sangat dilarang untung mengotori kampung mereka. Saya ingat ketika melihat berita ada beberapa daerah di Banten beberapa bulan yang lalu krisis air tanah, bukan hanya semakin mengering tapi juga sudah bercampur dengan limbah deterjen dari rumah tangga maupun pabrik. Itulah bahayanya deterjen bila sisa pemakaiannya langsung dibuang kesungai atau tanah.

[caption id="attachment_360781" align="aligncenter" width="504" caption="(Dok. Ulul Rosyad)"]

1419089868273966689

[/caption]

Saya rasa dalam hal ini orang Baduy memang lebih cerdas dari kita dalam memanfaatkan alam sebaik mungkin, buktinya untuk mandi saja mereka memanfaatkan batang pohon honje (saya tidak tahu pohon honje ini seperti apa) sebagai sabunnya, juga serabut kelapa sebagai sikat giginya semacam siwak. Untuk Urusan membilas pakaian, mereka memang tidak menggunakan pemutih, sabun apalagi pewangi pakaian. Cukup dengan di gosokan dengan batu-batu di sungai, pakaian mereka langsung bersih bak seperti di iklan pencuci pakaian. Satu lagi, pernah mendengar abu gosok? Nah kalau mencuci peralatan rumah tangga seperti sendok, piring maupun gelas mereka pakai abu gosok. suatu hal sangat jarang dilakukan oleh orang 'modern' saat ini menggunakan abu gosok, bahkan tukang abu gosok pun seperti sudah menghilang dari bumi. Walau memang ribet, tapi menggunakan abu gosok diyakini tak akan merusak lingkungan karena berasal dari sisa pembakaran tumbuhan juga.

Kembali menyambung tulisan sebelumnya, pagi-pagi sekali saya bangun dan ingin melihat dari dekat pembatas dari bambu yang menandai daerah terlarang untuk tamu/pengunjung. Rupa-rupanya pak Jaro Daina sudah menunggu di teras rumah dinasnya dan tak berapa lama kemudian si Cleo menyusul.

Ada satu cerita menarik ketika membahas tentang pernikahan. Ternyata orang Baduy untuk urusan yang satu ini tidak bisa memilih alias dijodohkan dan wajib menerima. Orang Baduy memang banyak yang menikah muda atau istilahnya pernikahan dini. Lanjut ke cerita awal, lalu dia (Jaro Daina) bercerita bahwa menikah di Baduy dalam tidak melalui proses pacaran tetapi dijodohkan langsung dengan orang tua. Dan pastinya dijodohkan dengan orang baduy dalam juga. Bisa dari satu kampung atau pun dua kampung Baduy dalam lainnya.

"Kalau tidak suka sama jodohnya bagaimana, Pak?" tanyaku.
"Ya hanya di pendam saja dalam hati" . Luar biasa sekali mereka akan bakti sama orang tua. Inilah esensinya kata Cleo. Dan saya selalu ketawa saat Cleo ini sedari perjalanan ke dalam sampai pulang pun selalu mengucapkan esensi.

Orang Baduy sebenarnya sangat terbuka dengan pendatang (bukan orang bule, tionghoa). Kesan menyeramkan tidak sama sekali terpancar, yang ada malah keramahan dan murah senyum dan kesajaan mereka. Buktinya mereka bersedia rumahnya dijadikan tempat menginap sementara, juga rela memasak makanan bagi para tamunya. Namun jangan lupa untuk membawa logistik tentunya berupa beras dan lauknya, jangan sampai mereka yang menyediakan logistik untuk kita.

[caption id="attachment_360787" align="aligncenter" width="512" caption="(Dok. Ulul Rosyad)"]

1419090427775677238

[/caption]
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline