Eko Setiadi
Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) nasional meningkat rata-rata 8 persen setiap tahun1. Saat ini, konsumsi BBM sekitar 1,6 juta bph. Kapasitas kilang di Indonesia hanya mampu mengolah minyak mentah menjadi produk BBM sekitar 800 ribu bph, dan kekurangan BBM sekitar 800 ribu bph dipenuhi melalui import, dengan biaya import 1,95 trilyun rupiah/hari.
Upaya pembangunan kilang minyak untuk menutupi kebutuhan BBM domestik dan mengurangi ketergantungan import sudah dimulai 10 tahun silam. Pertamina sudah menjajaki kerjasama dengan beberapa investor internasional, seperti Sinopec China dan NIORDC Iran. Namun sampai saat ini, belum satu pun kilang minyak baru yang berhasil dibangun. Mundurnya pembangunan kilang minyak tersebut karena menemui berbagai kendala, antara lain: sulitnya pembebasan lahan, perlunya insentif fiskal dan non fiscal, kepastian investasi, serta kendala perijinan dan regulasi. Sebagai respon atas berbagai hambatan tersebut, Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri2. Perpres tersebut memuat skema pembangunan kilang minyak yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan badan usaha, dengan tujuan untuk memberikan pedoman dalam pelaksanaan pembangunan dan pengembangan kilang minyak serta demi mewujudkan ketahanan energi nasional melalui peningkatan penyediaan BBM dan produk lainnya secara terintegrasi.
Pembangunan Kilang Minyak Mini
Perpres pembangunan kilang minyak tersebut, merupakan upaya mempercepat program upgrading kilang minyak eksisting dan pembangunan kilang minyak baru Pertamina. Selain itu, perpres tersebut membuka peluang membangun kilang minyak skala mini. Sebagai tindak lanjut dari Perpres Pembangunan Kilang, kementerian ESDM, sedang menyiapkan peraturan menteri yang menjadi dasar pembangunan kilang mini, sekaligus penyiapan skema lelang proyek tersebut3.
Disebut kilang mini karena kapasitasnya sekitar 6 ribu – 20 ribu bph. Dari sisi hulu, kilang mini merupakan terobosan sebagai upaya monetisasi dari lapangan marjinal dengan level produksi di bawah 5 ribu bph, berlokasi di daerah terpencil, yang jumlahnya tersebar di berbagai wilayah kerja hulu. Selama ini, perusahaan minyak yang mengelola lapangan-lapangan marjinal dengan produksi yang terbilang kecil, harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mengangkut minyak mentah melalui pipa atau trucking kefloating storage yang lokasinya jauh. Proses ini membutuhkan biaya transportasi yang turut menambah komponen biaya operasi. Mekanisme ini adalah skema hulu, dengan biaya transportasi bagian dari komponencost recovery, yang artinya mengurangi penerimaan negara. Ketika harga minyak mentah masih cukup tinggi, laba dari lifting minyak mentah masih bisa menutupi biaya operasi. Namun ketika harga minyak merosot di bawah 40 USD/barel sejak setahun ini, margin laba semakin tertekan. Bahkan di beberapa lapangan, biaya operasinya malah di atas harga jual minyak mentah. Konsekwensinya lapangan produksi tersebut terpaksa di-suspend.
Sebagai upaya monetisasi potensi lifting minyak mentah karena kendala lokasi dan biaya produksi yang tidak ekonomis, kilang mini dapat dianggap solusi praktis. Kilang mini memiliki model skid mounted, sudah dalam bentuk modular, dan bisa dipindah-pindah. Durasi konstruksi sekitar 18 bulan, diperkirakan biaya pembangunan senilai USD 50 juta-150 juta untuk kapasitas 6 ribu-20 ribu bph. Untuk menjadi proyek yang layak secara ekonomis, komponen utama yang harus diperhitungkan adalah harga minyak mentah dengan formula di kepala sumur (wellhead). Optimasi penentuan lokasi kilang harus dilihat dari sisi hulu dan hilir, dengan memperhitungkan efisiensi dan efektifitas penyaluran hilir dalam distribusi produk kilang.
Dari sisi investor dan operator kilang mini, beberapa faktor yang harus menjadi pertimbangan adalah: investasi modal dan teknologi, biaya dan efisiensi produksi, pengelolaan risiko dan ketidakpastian, dalam konteks: penyediaan minyak mentah, harga jual minyak mentah, dan perubahan permintaan jenis BBM. Indikator keberhasilan pembangunan dan pengoperasian kilang mini adalah: terpenuhinya aspek keekonomian (economic life cycle) pengadaan dan operasional secara efisien, berkontribusi terhadap pendapatan negara, dan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. BBM yang dihasilkan kilang mini tersebut dapat dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan BBM daerah setempat.
Pembangunan kilang mini yang lokasinya dekat dengan lapangan produksi, dinilai efektif untuk meningkatkan keekonomian lapangan marjinal karena mampu menghilangkan berbagai biaya yang sebelumnya timbul dengan mekanisme transportasi dengan pipa atau trucking. Biaya-biaya tersebut, antara lain: 1.Transportation Cost, yaitu biaya yang dikeluarkan perusahaan minyak (KKKS) untuk menyalurkan crude siap lifting dari fasilitas produksi menuju terminal/titik lifting. 2. Storage Cost,yaitu biaya yang dikeluarkan KKKS untuk menyimpan/menimbun crude yang telah siap untuk di-lifting hingga waktu lifting. 3. Losses Cost, yaitu total biaya atas sejumlah volume crude yang hilang yang disebabkan oleh proses transportasi dan penyimpanan dibandingkan dengan produksi crude dalam satu tahun. 4. Operational Cost, yaitubiaya untuk mengoperasikan terminal di titik lifting.
Faktor lain yang harus menjadi pertimbangan adalah jenis minyak mentah yang dihasilkan belum tentu sama dari setiap lapangan, yang berpengaruh pada rancang-bangun spesifikasi kilang. Sedangkan spesifikasi pasokan minyak mentah dan proses pengolahan ini akan mempengaruhi kualitas produk BBM.
Terdapat delapan kluster yang menjadi bakal lokasi pembangunan kilang mini, yaitu: Sumatera Utara, Selat Panjang Malaka, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, dan Maluku.