Lihat ke Halaman Asli

Strategi "Blue Ocean" Menggenjot Investasi Hulu Migas

Diperbarui: 15 Mei 2017   08:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

STRATEGI “BLUE OCEAN” MENGGENJOT INVESTASI HULU MIGAS

Eko Setiadi, Sr. Strategic Planning & Portfolio Pertamina Hulu Energi

Tulisan ini opini pribadi, sudah dipublish di ekpslorasi.id 9 Mei 2017

Sektor hulu migas masih menjadi andalan sumber energi primer nasional.  Di tahun 2014, migas berkontribusi 54% terhadap sumber energi primer nasional, dan diproyeksikan di tahun 2030, migas masih berkontribusi 45%. Dalam konteks global, migas juga akan tetap memainkan peran penting sebagai sumber energi primer sampai beberapa dekade ke depan. Dari kajian OPEC, migas diproyeksikan berkontribusi 53% terhadap energi primer dunia di tahun 2035.

Untuk menjaga produksi migas, sekaligus meningkatkan cadangan migas melalui kegiatan eksplorasi dan pengembangan, mutlak membutuhkan investasi. Namun faktanya, terjadi penurunan investasi yang drastis di sektor hulu migas. Realisasi nilai investasi sektor hulu migas anjlok dalam 2 tahun terakhir. Di tahun 2014, nilai investasi sebesar 20,38 milyar USD. Di tahun 2015, investasi turun 25% menjadi 15,34 milyar USD. Sedangkan di tahun 2016, realisasi investasi migas kembali turun 42%, hanya 8,87 milyar USD. Kondisi serupa juga terjadi di tingkat global, IEA mencatat, realisasi investasi hulu migas tahun 2015 sebesar 583 milyar USD, turun 23% dari tahun 2014. Berlanjut ke tahun 2016, anjlok menjadi 472 milyar USD, atau turun 19% dari realisasi tahun 2015.

Lesunya investasi migas di tingkat global disebabkan karena sebagian besar perusahaan minyak menahan investasi terkait turunnya harga minyak dunia dalam tiga tahun terakhir. Sebagian besar proyek ditunda dan dikaji ulang, terkait keekonomian proyek.

Di luar faktor harga minyak, sejak satu dekade terakhir, investasi sektor hulu migas nasional masih didominasi oleh kegiatan produksi (62% dari total investasi). Menyusul kegiatan pengembangan (18% dari total investasi) dan kegiatan eksplorasi (13% dari total investasi). Persentase kontribusi kegiatan di sektor hulu ini menegaskan karakteristik bisnis hulu migas, yaitu tingginya risiko dan ketidakpastian. Fase eksplorasi memiliki risiko dan faktor ketidakpastian paling besar, yang kemudian makin turun di tahap selanjutnya, yaitu fase appraisal, development dan produksi. Indikator rendahnya minat investasi migas di Indonesia adalah sepinya peminat lelang wilayah kerja (WK) eksplorasi. Dalam tiga tahun terakhir, dari 49 WK migas yang dilelang, pemerintah hanya berhasil mendapatkan 11 investor di tahun 2014 dan 1 investor di tahun 2016. Rasio sukses kegiatan eksplorasi yang makin rendah. Dalam 5 tahun terakhir, 11 kontraktor migas kehilangan US$ 1,9 milyar (Rp 22 trilyun) karena kegiatan pemboran 25 sumur eksplorasi gagal menemukan cadangan migas. Kerugian ini merupakan risiko yang harus ditanggung kontraktor karena menurut peraturan pemerintah no.79 tahun 2010, biaya eksplorasi yang gagal tidak dapat diklaim ke negara.


                                                                                                       Gambar 1: Realisasi investasi hulu migas, diolah dari Laporan Kinerja Dirjen Migas tahun 2016

Konsep Investasi Sektor Hulu Migas

Fraser Institute merilis hasil survey “Global Petroleum: Policy Perception Index 2016”, mengenai faktor yang menarik (attractiveness) dan faktor penghambat investasi sektor hulu migas di 96 yurisdiksi seluruh dunia. Policy Perception Index terbagi dalam 3 sub-index, yaitu: commercial environment index (fiscal terms, perpajakan, hambatan perdagangan, kualitas infrastuktur, ketersediaan dan keahlian pekerja), regulatory climate index (biaya kepatuhan atas peraturan, pelaksanaan aturan, regulasi lingkungan, aturan ketenagakerjaan, duplikasi dan inkonsistensi peraturan, dan sistem hukum) dan geopolitical risk index, yang terkait kestabilan politik dan keamanan. Hasil survey tersebut menempatkan Indonesia pada posisi 79 dari 96 yurisdiksi. Brunei Darussalam di peringkat 31 dan Vietnam di peringkat 38, menjadi dua negara dengan iklim investasi terbaik di kawasan Asia Tenggara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline