Lihat ke Halaman Asli

Abyan Farid Panjaitan

Sambil belajar

Indonesia dan Tiongkok dalam Konflik Natuna

Diperbarui: 17 Desember 2021   07:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa Waktu lalu kita kembali mencium aroma konflik yang terjadi antara Indonesia dengan China atau yang sekarang disebut sebagai Tiongkok lewat berita yang tersebar mengenai surat yang ditulis oleh diplomat Tiongkok ke Kemlu RI yang bertajuk ancaman mengenai pengeboran minyak dan gas alam di Laut Natuna Utara yang dilakukan oleh Indonesia. Dalam surat tersebut, Tiongkok terang-terangan meminta agar pengeboran tersebut dihentikan karena berada di dalam wilayah kedaulatannya, yakni Laut Cina Selatan. Surat ini menjadi yang pertama kali dilontarkan oleh Tiongkok yang meminta dan mengklaim wilayah secara langsung dalam perjalanannya bersitegang dengan Indonesia di laut Natuna.

Tentu, sudah bukan masalah baru jikalau kita membahas mengenai konflik yang terjadi di Natuna yang membawa Indonesia dalam masalah perbatasan dan kedaulatan wilayah NKRI sampai saat ini. Natuna sendiri merupakan wilayah yang terletak di Provinsi Kepulauan Riau dan juga dekat dengan Laut Cina Selatan dan berbatasan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. Wilayah yang disebut-sebut memiliki cadangan gas terbesar di Asia ini telah menjadi wilayah NKRI sejak 18 Mei 1956 silam.

Sebelum berkonflik dengan Tiongkok, Indonesia lebih dulu memperebutkan wilayah ini dengan Malaysia yang sempat mengklaim bahwa seharusnya Natuna menjadi miliknya sebelum konfrontasi Indonesia-Malaysia pecah pada 1962-1966 yang membuat Malaysia tidak menggugatnya lagi. Lalu konflik mulai tercium pada saat Tiongkok melanggar Sembilan Titik di wilayah Laut Cina Selatan dan mengklaimnya sebagai Zona Ekonomi Eksklusifnya. Sikap Tiongkok ini berdasarkan pada Partai Kuomintang yang menyatakan bahwa 90 persen Laut Cina Selatan adalah wilayah Tiongkok. Meskipun Indonesia telah mengambil sikap tegasnya pada era SBY dengan memprotes hal ini ke Komisi Landas Kontinen PBB, namun faktanya konflik Indonesia-Tiongkok belum berakhir sampai sekarang. Konflik ini naik lagi saat era Jokowi periode pertama yang mengkritik peta perbatasan laut yang dibuat oleh Tiongkok yang memasukan Natuna sebagai Zona Ekonomi Eksklusifnya.

Lalu, mengapa konflik Indonesia-Tiongkok di Natuna ini sering dikaitkan dengan utang Indonesia kepada Tiongkok?. Informasi mengenai utang Indonesia ke Tiongkok telah banyak diketahui oleh masyarakat secara luas sebagai utang yang besar bahkan sebagian masyarakat menganggapnya sebagai utang yang paling besar. Faktanya, memang Tiongkok menjadi salah satu negara pemberi utang terbesar ke Indonesia. Hal ini tercatat dalam Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI) November 2021. Pada data tersebut, Indonesia tercatat memiliki ULN per September 2021 sebesar 20,912 miliar USD atau sekitar 302 triliun rupiah. Namun, faktanya angka tersebut hanya meraih peringkat keempat dalam daftar negara pemberi utang ke Indonesia setelah Singapura (64,900 miliar USD), Amerika (30,693 miliar USD), dan Jepang (27,958 miliar USD). Jadi sebetulnya China atau Tiongkok ini bukan negara pemberi utang terbesar, melainkan Singapura dengan 64,900 miliar USD atau sekitar 937 triliun rupiah. Pengkultusan Tiongkok sebagai pemberi utang terbesar ke Indonesia mungkin muncul karena tren kenaikan jumlah utang Indonesia ke Tiongkok yang sangat tinggi selama 10 tahun terakhir yang sering diangkat di media, yakni sekitar 474%.  Hal inilah yang memunculkan persepsi di masyarakat bahwa Indonesia “segan” dengan Tiongkok karena selama satu dekade ini cukup bergantung kepada mereka dalam pembangunannya. Hal ini juga berimbas kepada kritik kepada presiden Jokowi karena era kepemiminannya ini utang kepada Tiongkok terus menujukkan tren kenaikan (meskipun pada bulan tertentu terjadi penurunan tipis).

Perspesi bahwa Indonesia cukup “segan” dengan Tiongkok ini memiliki teori yang mendasarinya, yakni teori ketergantungan (dependency theory). Teori yang dikembangkan oleh ekonom Raul Presibich sekitar tahun 1950-an ini mencoba menjelaskan mengenai hubungan-hubungan yang terbentuk antara negara maju dan negara berkembang dalam sistem ekonomi. Intinya, teori ini menjelaskan bahwa ketergantungan adalah kondisi ketika kehidupan ekonomi di suatu negara dipengaruhi oleh perkembangan dan pembangunan kehidupan ekonomi di negara lain. Teori ketergantungan ini juga dapat terjadi sebagai imbas dari peristiwa sejarah, yakni kolonialisme yang dilakukan oleh Eropa sejak abad ke-18.

Kita tahu bahwa mayoritas negara-negara di Asia merupakan negara yang terbilang baru merdeka dari kolonialisme itu sendiri. Itu sebabnya, negara-negara di Asia cenderung digolongkan ke dalam negara Dunia Ketiga yang merupakan identifikasi kepada negara-negara yang status ekonominya masih rendah atau negara berkembang. Segmentasi seperti ini terjadi karena memang negara-negara di dalamnya termasuk Indonesia tergolong sebagai negara yang baru berdiri dan tentunya tidak bisa melakukan pembangunan ekonominya tanpa bantuan dari negara Dunia Pertama ataupun Dunia Kedua. Maka teori ketergantungan atau dependensi ini lahir untuk menjelaskan hal tersebut, dimana negara-negara berkembang telah mengalami ketergantungan ekonomi kepada negara-negara maju melalui investasi asing dan juga utang luar negeri. Efeknya adalah, negara maju yang telah memberikan bantuannya dapat mempengaruhi, atau bahkan melakukan hegemoni baik dari segi ekonomi, politik, dan juga hukum yang ada di negara berkembang tersebut.

Teori ini sekiranya cukup menjelaskan mengapa akhir-akhir ini Tiongkok cukup berani dalam menyikapi konflik di laut Natuna, yakni terkait dengan ketergantungan Indonesia yang cukup besar kepada negara Tiongkok dalam pembangunan nasional sehingga mereka sampai berani mengklaim secara langsung kepada Indonesia bahwa wilayah pengeboran tersebut masuk ke dalam wilayah Tiongkok sebagai nine dash line yang selama ini diakui secara sepihak oleh mereka. Namun, faktanya Indonesia sendiri telah tegas dalam menyikapi hal ini dengan tetap menyatakan untuk menolak nine dash line yang selama ini diterapkan Tiongkok sebagai peta perbatasan lautnya. Hal ini menjelaskan bahwa hubungan ketergantungan Indonesia dengan Tiongkok tergolong sebagai pembangunan dalam ketergantungan. Peter Evans seorang sosiolog Amerika Serikat menjelaskan bahwa pembangunan dalam ketergantungan terjadi ketika proses industrialisasi mulai terjadi di negara berkembang dan peran negara di dalamnya semakin kuat. Artinya, dalam ketergantungannya kepada Tiongkok, Indonesia sudah seharusnya berada di posisi yang cukup kuat mempertahankan sikapnya dalam konflik Natuna ini, sehingga kedaulatannya tidak terganggu. Indonesia walaupun saat ini memiliki ketergantungan terhadap Tiongkok harus tetap menjaga stabilitas Aliansi Tiga (Triple Alliance) antara modal asing, pemerintahan, dan juga borjuasi lokal sehingga dapat mencegah hegemoni yang coba dilakukan oleh Tiongkok dalam konflik Natuna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline