Lihat ke Halaman Asli

Menpora, Jangan Mau Kompromi dengan Penjahat Sepakbola – Bagian 2

Diperbarui: 26 Juli 2015   13:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berikut adalah sambungan dari tulisan saya sebelumnya Menpora, Jangan Mau Kompromi dengan Penjahat Sepakbola – Bagian 1

Sanksi FIFA, Jurus Mabuk PSSI

Setelah bertahun-tahun PSSI nyaman dengan perannya sebagai Penjahat Sepakbola, karena Menpora-Menpora terdahulu yang hanya cari aman, kali ini di era Menpora Imam Nahrawi mereka merasakan perlawanan yang membuat mereka tidak nyaman dan cukup terguncang. Sikap Menpora yang langsung masuk dan mengena ke dalam akar permasalahan sepakbola kita, yaitu ketidak patuhan akan 5 aspek profesionalisme, membuat PSSI tidak dapat mengelak dan tidak dapat berkutik. Perlawanan balik yang dilakukan PSSI pun malah membuat mereka semakin tersudut pada posisi sebagai Penjahat Sepakbola.

Setelah berbagai macam jurus gagal, PSSI akhirnya memanfaatkan momen pemilihan Presiden FIFA sebagai jurus mabuk pamungkas. Seperti yang pernah diutarakan oleh Presiden Asosiasi Sepakbola Inggris (FA) Greg Dyke, bahwa Sepp Blatter memanfaatkan Negara-Negara sepakbola yang lemah dan bermasalah untuk menggalang dukungan bagi dirinya agar bisa terpilih kembali menjadi Presiden FIFA dan mengalahkan calon lain yang didukung oleh Negara-Negara sepakbola maju yang tidak dapat berkompromi dengan dia. PSSI dalam kondisinya yang tertekan oleh Menpora, “menukarkan” dukungannya kepada Sepp Blatter untuk kembali menjadi Presiden FIFA dengan dukungan FIFA kepada PSSI agar Menpora menjauh dan tidak lagi ikut campur dalam mengusik kenyamanan PSSI saat berperan sebagai Penjahat Sepakbola. Sanksi pun dilesatkan FIFA kepada Sepakbola Indonesia, kongkalikong antara FIFA dan PSSI pun sangat jelas terungkap dalam detail sanksi yang diberikan FIFA, yaitu tanpa melihat pokok permasalahan yang sebenarnya FIFA memerintahkan Menpora untuk tidak lagi mengusik PSSI.

Setelah sanksi FIFA dijatuhkan, untuk sesaat angin segar sepertinya bertiup ke arah PSSI. Sanksi itu PSSI gunakan untuk mengalihkan pandangan para pecinta sepakbola Indonesia dari pokok permasalahan yang sebenarnya. PSSI kembali seperti berada di atas angin saat jurus sanksi FIFA mereka gabungkan dengan jurus menghentikan kompetisi. Pada kondisi ini, PSSI berhasil menyajikan pandangan seolah-olah Menpora telah berbuat dzalim kepada para pelaku sepakbola Indonesia. PSSI berhasil menghembuskan angin yang menyentuh sisi-sisi kemanusiaan para pecinta sepakbola yang merasa kasihan akan nasib pemain yang mengangur karena Menpora ikut campur permasalahan sepakbola Indonesia. Sayangnya itu hanya berlangsung sejenak saja, di luar dugaan PSSI, skandal internal FIFA terkuak secara tiba-tiba dan menyudutkan FIFA nya Sepp Blatter. Setelah FIFA nya Sepp Blatter tersudutkan, tentu saja berbagai kebijakannya pun ikut tersudutkan, termasuk kebijakan menjatuhkan sanksi kepada sepakbola Indonesia. Kondisi FIFA nya Sepp Blatter yang mulai tercium busuk, di mata pecinta sepakbola Indonesia mau tidak mau bau busuk itu ikut menempel kepada PSSI yang pernah dan sering mendekat ke FIFA nya Sepp Blatter di berbagai konflik internal PSSI sebelumnya.

Posisi Pecinta Sepakbola di Konflik Menpora-PSSI

Ada berbagai tanggapan dari para pecinta sepakbola Indonesia mengenai tindak-tanduk Menpora terhadap sepakbola Indonesia. Ada yang merasa setuju dengan Menpora dan ada juga yang merasa tidak setuju dengan Menpora. Mengamati dari berbagai pendapat dan ulasan yang muncul di media, saya merasa tidak sependapat dengan mayoritas mereka yang setuju dengan Menpora ataupun mereka yang tidak setuju dengan Menpora. Mayoritas dari kita, baik yang setuju ataupun yang tidak setuju dengan langkah Menpora masih terjebak pada kisah-kisah konflik masa lalu. Mulai dari konflik dualisme liga, dualisme kepengurusan, dualisme kepemilikan klub dan konflik-konflik masa lalu yang semuanya masih terlalu subjektif bila dijadikan acuan. Saya katakan, ingatkan, dan pastikan kembali di sini bahwa konflik kali ini sangat amat berbeda sekali dengan yang pernah terjadi sebelumnya. Pada konflik kali ini, Menpora menyentuh sisi yang esensial yang mendasari masalah di sepakbola Indonesia (sudah saya jelaskan di tulisan bagian 1), dan sentuhan yang dilakukan sangat formal, prosedural dan transparan, hingga secara logika sehat dan normal semuanya tidak terbantahkan.

Saya sangat memahami bila ada di antara kita yang tidak setuju dengan Menpora karena sisi kemanusian dan sisi kecintaan kita terhadap sepakbola tersentuh saat melihat sepakbola Indonesia seakan-akan runtuh akibat sanksi yang diberikan oleh FIFA. Namun memang itulah yang diharapkan PSSI yang memanfaatkan keluguan para pecinta sepakbola Indonesia dalam menunjukan kecintaannya. PSSI merekayasa sedemikian rupa sehingga terlihat seolah-olah sanksi FIFA yang kita terima berkorelasi dengan berhentinya kompetisi, yang kemudian berkorelasi juga dengan cerita-cerita miris para pemain yang mulai menjadi pengangguran, hingga semua hal tersebut memaksa kita melihat seakan-akan kondisi sepakbola kita memburuk. Percayalah kawan itu semua hanya akal-akalan belaka, tidak pernah ada korelasi antara sanksi FIFA dengan berhentinya kompetisi. Seharusnya semua program dan kegiatan di sepakbola Indonesia, termasuk kompetisi, tetap bisa berjalan normal meski kita sedang menerima sanksi FIFA dan percayalah bahwa saat FIFA sudah memperbaiki diri, sanksi tersebut akan segera dicabut karena posisi tindakan Menpora adalah kuat, sebab tindakan tersebut didukung oleh Asosiasi Pemain Profesional Dunia (FIFPro) sebagai tindakan yang benar.

Sanksi FIFA terlihat seolah-oleh berkorelasi dengan berhentinya kompetisi karena sikap ajaib para klub-klub sepakbola Indonesia yang tetap berdiri di barisan Penjahat Sepakbola (PSSI). Saya tidak bisa memprediksi secara jelas alasan-alasan apa yang mendasari para pengelola klub mengingkari kebenaran mutlak yang disampaikan Menpora dan tetap mendukung kejahatan-kejahatan mutlak dari PSSI. Sehingga para pengelola klub dengan sangat amat tega dan tidak berperikemanusiaan rela mengorbankan nasib para pemain demi mendukung PSSI dalam melawan Menpora (klub setuju menghentikan kompetisi). Saya tidak tahu tawar menawar apa yang ada di sana antara pengurus klub dengan PSSI, saya tidak tahu kongkalikong apa dibalik persekutuan mereka, dan saya juga tidak tahu pasti apakah persekutuan itu didasari atas rasa ketakutan para pengurus klub ikut terseret bila kelak akan terbongkarnya kejahatan besar lainnya saat PSSI benar-benar “kalah” oleh Menpora.

Dalam konflik ini, posisi para pecinta sepakbola menjadi penting. Semua akan berubah terlihat manis bila para pecinta sepakbola bersatu mendorong para pemilik klub untuk meninggalkan barisan Penjahat Sepakbola dan masuk ke barisan Jagoan Sepakbola. Karena bila itu berhasil dilakukan, kompetisi akan kembali berjalan normal dengan sistem yang lebih baik, para pemain bisa kembali bekerja, dan program-program pembinaan bisa kembali berjalan. Semua hal tersebut akan menguatkan posisi kita di saat nanti melakukan komunikasi dengan FIFA yang baru dalam konteks pencabutan sanksi FIFA terhadap Indonesia.

Kesimpulan Penulis

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline