Lihat ke Halaman Asli

Siti khusnul khotimah

Pendidik dan Pecinta Literasi

One School for All (Sekolah Inklusif)

Diperbarui: 6 November 2022   17:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Setiap anak lahir dan hadir dengan bakat dan keistimewaan masing masing. dan mereka berhak untuk belajar dan mengembangkan diri tanpa ada rasa takut  adanya diskriminasi. 

Oleh karena itu setiap satuan pendidikan harus mampu melindungi hak-hak anak serta menjadi garda terdepan dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang berorientasi pada anak. Sekolah wajib mendukung partisipasi anak dalam pemenuhan hak dasar, yaitu mendapat pendidikan yang layak. Dengan menerima semua anak tanpa memandang perbedaan fisik, intelektual, status sosial dan lain lain. 

Bagaimana penerapan yang terjadi di lapangan? Tidak semua sekolah melakukan hal tersebut dengan berbagai pertimbangan. Prestasi akedemik/ tes intelektual terkadang masih dijadikan sebagai satu satunya standar atau tolak ukur untuk menentukan kecerdasan seorang anak. Serta banyak pandangan yang keliru  yang menyatakan bahwa anak dianggap bodoh, tidak cerdas jika nilai raportnya tidak bisa menampilkan nilai bagus untuk matematika atau sains misalnya. 

Padahal dalam Al Qur'an surat at Tiin ayat 5 Allah SWT menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang paling istimewa(sempurna) dan memiliki kemampuan untuk bersosialisasi dengan lingkungannya (Surat Al Hujurat ayat 13). Anak hadir dengan bakat dan keistimewaan masing masing dan kemampuan bersosialisasi.
Menurut Sapon-Shevin dan O'Neil, 1994 (Dir. Pem. SLB, 2007:5) menyatakan bahwa 'pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya'.

Sekolah seyogyanya mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik, ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup anak berkelainan dan anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari daerah atau kelompok lain yang tak beruntung (UNESCO, dalam Hermansyah, 2013).

Jadi Anak berkebutuhan khusus tidak harus sekolah di Sekolah Luar Biasa. Bagaimana solusi untuk proses pembelajarannya? Tidak perlu bingung dan ragu karena saat ini pemerintah melalui kemdikbud Direktorat Pembinaan Guru Dikmen dan DikSus sedang melatih ribuan guru di seluruh Indonesia untuk mengikuti Bimtek Guru Pembimbing Khusus yang dihajatkan bagi pemenuhan kebutuhan guru dan peningkatan kompetensi guru di sekolah Inklusif. Sehingga pemenuhan kebutuhan guru bagi sekolah inklusif akan dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan.

Bimtek Guru Pembimbing Khusus akan berlangsung selama 9 hari dengan menggunakan pendekatan Blended Training dengan pola 84 jam. Pendekatan blended training dilakukan dengan dua tahap, yaitu tahap pemahaman konsep dan tahap penguasaan ketrampilan. Alokasi waktu bimbingan teknis tahap pemahaman konsep setara dengan 36 Jam Pembimbingan (JP) dan tahap penguasaan keterampilan dilakukan setara dengan 48 JP. 

Kedua tahapan ini boleh dilakukan secara daring maupun luring disesuaikan dengan kondisi saat pelaksanaan. Jadi tidak ada alasan sekolah menolak PDBK (peserta didik berkebutuhan khusus) di sekolah reguler. Mari bapak ibu guru hebat bergabung bersama kami di Bimtek Guru Pembimbing Khusus Kemdikbud RI. 

Pulau Seribu masjid, 6 November 2022
#GuruPembimbingKhusus#
#Angkatan4_69#
#SekolahInklusi#
#MerdekaBelajar#




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline