"Mau ke mana setelah lulus sekolah?". Pertanyaan normatif ini sering saya sisipkan di tengah-tengah obrolan dengan dengan siswa kelas 12 SMA. Paling tidak ada 2 subjek yang menjadi pengamatan sambil lalu.
Pertama, siswa/i di Kota besar (Ibu Kota) dan sekitarnya tempat saya mengajar dahulu, dan kedua siswa-siswi Sekolah di Desa/Kabupaten-Provinsi yang berbentuk kepulauan. Tidak menggherankan keduanya memiliki jawaban yang berbeda.
Pertanyaan tersebut mudah dijawab oleh siswa/i yang berada di Kota-Kota besar dan sekitarnya. Mereka akan menjawab dengan antusias dan optimis akan melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi, bahkan dijawab dengan spesifik sampai kampus dan jurusan yang menjadi target.
Bukan hanya sebatas ekspektasi, dari jauh hari sebelumnya mereka telah mempersiapkan diri dengan mencari informasi dan mengikuti tambahan belajar baik perorang (privat) maupun lembaga kursus seperti bimbingan belajar.
Tapi bagaimana dengan siswa/i yang ada di Desa? justru berbanding terbalik dengan fenomena yang ada di Kota dan sekitarnya, kebanyakan siswa menjawab dengan tidak semangat dan kebingungan.
Dapat disimpulkan, mayoritas siswa-siswi mengalami disorientasi rencana setelah lulus. Bagi mereka untuk kuliah tidak semudah membeli paket data.
Banyak faktor yang menjadi hambatan, diantaranya kurangnya dukungan keluarga, kondisi ekonomi, prestasi rendah, lingkungan sosial, pergaulan menyimpang serta mental dari siswa itu sendiri, bahkan sekolah itu sendiri dapat menjadi sebab karena tidak mengkonstruksi siswa/i untuk membangun mental siswa yang siap bersaing dengan tidak ada perhatian terhadap keberlanjutan siswa/i-nya pasca lulus sekolah SMA.
Memang tidak ada keharusan bahwa lulusan SMA harus melanjutkan kuliah, karena regulasi yang mengatur seperti Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional atau peraturan yang sejenisnya hanya bersifat umum dan hanya menetapkan pendidikan minimal 12 tahun yang harus ditempuh. Jadi kuliah atau tidak hanyalah sebatas pilihan.
Seperti yang dikutip dalam buku Pendidikan yang Memiskinkan. "Pengertian wajib belajar sama dengan wajib lulus sehingga akan berdampak pada penurunan kualitas pendidikan secara menyeluruh, demi mengejar kuantitas saja." (Darmaningtyas: 2015).
Namun ironinya, kurrikulum yang ada di SMA dirancang bersifat "borongan", siswa-siswi tidak dikerucutkan dalam bidang tertentu yang langsung bersentuhan dengan dunia kerja serta tidak dibekali keahlian khusus seperti di SMK.