Pagi itu, Senin 18 Desember 2017, suasana Mesjid Istiqlal Jakarta agak berbeda dari biasanya. Ditemani udara dan hangatnya mentari pagi, 100 orang mantan teroris dan kombatan berkumpul di Aula Perpustakaan Mesjid Istiqlal. Lho, mengapa para pelaku sejarah mendadak muncul di mesjid kebanggaan nasional itu? Teror modus barukah? Atau, ada hajatan apa gerangan?
Luar biasa, dan ini belum pernah terjadi sejak Indonesia Merdeka, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius, menggagas acara Silaturahmi Nasional bertajuk "Gerakan Masyarakat Anti Radikalisme Negara Kesatuan Republik Indonesia" atau "GEMAR NKRI".
Tidak tanggung-tanggung, 100 orang mantan teroris hadir bertatap muka dan dialog interaktif dengan mantan Kabareskim Polri itu. Saya, termasuk di antara 100 orang eks napiter yang hadir, tanpa perasaan rendah diri dan rasa malu, kami para pelaku sejarah yang pernah "melukai" NKRI, bersembang ramah dengan orang yang pernah dinobatkan sebagai "kepala" thoghut karena mengepalai lembaga pemberantasan terorisme. Acara yang penuh persaudaraan dan diiringi gelak ketawa ketiwi itu sedianya menghadirkan sekitar 700 mantan napiter. "Namun yang hadir sekarang ada 100 orang. Mudah-mudahan ke depannya mau bergabung dan bersilaturrahim dengan yang lain sehingga dapat bertukar pikiran untuk kemajuan bersama ke depannya," ucap kepala BNPT ketika membuka acara Silaturrahmi Nasional tersebut.
Lanjut Suhardi, "Silaturahim Gemar NKRI ini merupakan yang pertama kali kita adakan. Kegiatan ini untuk membuka wawasan karena jangan pernah menyangsikan mantan napiter juga sangat mumpuni dalam bidang agama dan wawasan kebangsaan serta kewirausahaan. Saya meminta kepada rekan ikhwan tidak putus harapan. Informasikan kepada kami apa yang bisa kami bantu. Insya Allah kami akan fasilitasi. Ini sebagai bukti negara hadir di tengah rekan-rekan."
Merangkul pelaku sejarah -- di mana mereka terjebak pada pemahaman sempit soal kafir, surga, neraka dan lainnya, sehingga mereka mudah terpengaruh untuk menjadi "pengantin"-- sebenarnya sudah pernah dilakukan baik oleh rezim Soekarno maupun Soeharto. Ada tiga periodisasi pemberantasan terorisme di Indonesia: Periode Soekarno, Periode Soeharto, dan Periode Reformasi. Pada ketiga periodisasi ini, pemberantasan terorisme di Indonesia mengalami evolusi, sesuai dengan karakteristik dari organisasi terorisme di Indonesia.
Pada periode Soekarno, pemberantasan gerakan terorisme dilakukan oleh militer dengan pola negoisasi dan pendekatan damai. Soekarno menitikberatkan pada pendekatan militer bukan kepolisian.
Pada periode Soeharto, pemberantasan terorisme sangat didominasi oleh militer melalui Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) dan Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
Sedangkan pada periode reformasi, pemberantasan terorisme dilakukan melalui dua cara, yaitu Soft Approach (pendekatan halus) dan Hard Approach (penindakan hukum).
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, badan anti teror ini menggagas Soft Approach, maka pada tahun 2010, lahirlah gagasan spektakuler "deradikalisasi." Deradikalisasi adalah suatu proses dalam rangka reintegrasi sosial pada individu atau kelompok yang terpapar paham radikal terorisme. Tujuannya untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan proses radikalisasi yang telah terjadi.
Artinya, deradikalisasi mengacu pada tindakan preventif kontraterorisme atau stratregi untuk menetralisir paham-paham yang dianggap radikal dan membahayakan dengan cara pendekatan tanpa kekerasan. Dengan kata lain, deradikalisasi mengembalikan para aktor terlibat yang memiliki pemahaman radikal untuk kembali kejalan pemikiran yang lebih moderat. Dua tujuan utama deradikalisai adalah, pemutusan (disengagment), dan penghapusan ideologi atas agama (deideologisasi).
8 Pernyataan
Hadirnya 100 eks napiter dan kombatan, dalam ajang Silaturahmi bersama kepala BNPT dan jajarannya, setidak-tidaknya mengisyaratkan delapan esensi penting: