Lihat ke Halaman Asli

Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi dan Menko Polhukam

Diperbarui: 24 Maret 2016   15:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Surat Terbuka Untuk Presiden Jokowi dan Menko Polhukam Terkait Ponpes Khusus Untuk Anak-anak Mantan dan Napi Jihadis dan Keluarganya

Pondok Pesantren Darusy Syifa’ di Medan, baru-baru ini (16/1/2016) mengadakan peletakan batu pertamanya oleh Kepala BNPT Komjen Pol Drs Saud Usman Nasution (sekarang mantan kepala BNPT), yang turut dihadiri oleh unsur Muspida Plus Propinsi Sumut. Keistimewaan Ponpes ini adalah dikhususkan untuk anak-anak mantan dan napi teroris serta keluarganya, terletak di desa Sei Mencirim, Kabupaten Deli Serdang, Sumut.

Mengapa disebut ponpes khusus untuk anak-anak mantan dan napi teroris? Karena berbagai media massa mengangkat issu seputar anak-anak negeri ini: ada yang kena penyakit aneh, ada yang menjadi pekerja atau buruh anak, ada yang terjangkiti narkoba, dan ada pula anak-anak yang dilacurkan oleh orang tuanya sendiri. Tapi ada satu yang terlewat, anak-anak korban terorisme. Mereka yang menjadi yatim, karena ayah mereka ditangkap aparat atau meninggal tertembak karena diduga teroris. Tak ada satu pun media, lembaga ataupun organisasi yang mengangkatnya.

Rasakan dalam jiwa kita yang paling dalam dan bayangkan bila kita adalah anak-anak yang dituduh teroris oleh negara dan masyarakat. Dicibir, dipinggirkan bahkan diintimidasi secara psikologi. Tak bolehkah mereka sama seperti kita yang hidup tanpa stigma yang melekat dijidat, bercengkrama tanpa ada rasa curiga dan mata yang selalu melihat dengan tatapan menghina.

Mungkin itu hanya mimpi kita saja, karena masyarakat yang tidak pernah tahu duduk permasalahan yang sebenarnya, menerima begitu saja apa yang diberikan oleh penguasa dan media, bahwa teroris harus dibasmi bahkan anak-cucunya pun mendapat perlakuan yang sama.

Kita bisa menyaksikan kondisi anak-anak dimana orang tuanya menjadi pengikut gerakan radikal terorisme. Sikap orang tua yang berubah akibat berada di bawah pengaruh paham radikal membuat anak-anak juga ikut terbawa. Anak-anak pengikut aliran radikal ini secara tidak langsung sudah terpengaruh paham radikal. Dikhawatirkan, apabila hal tersebut dibiarkan maka paham radikal dapat tertanam sejak dini dengan mempengaruhi perilaku anak-anak.

Terlepas dari ideologi mereka yang disebut "teroris", tanpa kita sadari nasib dan cara pandang mereka akan membentuk karakter bangsa pula, karena mereka adalah manusia-manusia Indonesia, sang penerus estafet kemerdekaan negeri ini.

Berangkat dari fenomena itu, beberapa orang mantan napi teroris yang berasal dari Sumut, tergerak hati untuk memikirkan nasib pendidikan anak-anak mantan dan napi teroris yang selama ini telah “ditelantarkan” oleh Negara. Selama ini pemerintah hanya fokus pada penangkapan terduga teroris saja dan memenjarakan mereka, tapi belum memberi perhatian cukup kepada anak-anak dan keluarga mereka yang turut terkena dampaknya baik secara psikologi maupun ekonomi. Sehingga dirasa mendesak pendidikan khusus (dalam hal ini Ponpes Darusy Syifa’ di Medan) untuk penanganan anak-anak korban radikalisasi.

Ponpes khusus untuk anak-anak mantan dan napi teroris dimaksudkan agar kita semua yang sudah lelah dengan konsep-konsep dan program-program – mungkin karena kita sudah terbiasa dengan karakter dan budaya kita yang salah, “lain yang diucapkan lain pula yang dikerjakan” –merealisasikan konsep-konsep tersebut agar tidak sekedar wacana. 

Karena itu sekarang kita membutuhkan orang-orang yang melaksanakan kata-kata, datangi anak-istri para korban stigma teroris, beri mereka apa yang kita bisa berikan kepada mereka, terutama “pendidikan gratis”, itulah kewajiban kita sebagai manusia yang masih punya rasa ukhuwah, bahwa keluarga yang ditinggalkan para tersangka teroris, baik yang ditembak aparat maupun yang mendekam dipenjara adalah keluarga kita juga.

Ketahuilah, walaupun belum ada data yang valid tentang jumlah anak-anak teroris di Indonesia, baik yang orangtuanya ditahan maupun meninggal dunia, namun diprediksi anak-anak teroris itu mencapai lebih 20.000 orang. Mereka hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, ada yang terpaksa bekerja sebagai buruh anak, bahkan ada di antaranya yang putus sekolah. Jika dibiarkan, bisa mengarah ke pelanggaran HAM secara sistematis, karena negara bertanggungjawab sepenuhnya terhadap anak-anak usia sekolah dalam program “Wajib Belajar”.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline