Lihat ke Halaman Asli

Siapa Bertanggung Jawab Terhadap Anak-anak Eks dan Narapidana Teroris yang Tidak Bersekolah?

Diperbarui: 13 Maret 2016   00:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berbagai media massa mengangkat issu seputar anak-anak negeri ini. Ada yang kena penyakit aneh, ada yang menjadi pekerja atau buruh anak, ada yang terjangkiti narkoba, dan ada pula anak-anak yang dilacurkan oleh orang tuanya sendiri. Tapi ada satu yang terlewat, anak-anak korban terorisme. Mereka yang menjadi yatim, karena ayah mereka ditangkap aparat atau meninggal tertembak karena diduga teroris. Tak ada satu pun media, lembaga ataupun organisasi yang mengangkatnya.

Rasakan dalam jiwa kita yang paling dalam dan bayangkan bila kita adalah anak-anak yang dituduh teroris oleh negara dan masyarakat. Dicibir, dipinggirkan bahkan diintimidasi secara psikologi. Tak bolehkah mereka sama seperti kita yang hidup tanpa stigma yang melekat dijidat, bercengkrama tanpa ada rasa curiga dan mata yang selalu melihat dengan tatapan menghina. Mungkin itu hanya mimpi kita saja, karena masyarakat yang tidak pernah tahu duduk permasalahan yang sebenarnya, menerima begitu saja apa yang diberikan oleh penguasa dan media, bahwa teroris harus dibasmi bahkan anak-cucunya pun mendapat perlakuan yang sama.

Inilah wajah “munafik” kita. Kita selalu menyerukan keadilan untuk semua, persamaan hak dan tidak memandang apapun latar belakang manusia, semua harus merasakan damai. Lalu pertanyaannya, sudahkah kita bersikap adil terhadap orang-orang dan keluarga yang terstigma sebagai teroris?  Kalau belum inilah “wajah” kita sesungguhnya.

Kita bisa menyaksikan kondisi anak-anak dimana orang tuanya menjadi pengikut gerakan radikal terorisme. Sikap orang tua yang berubah akibat berada di bawah pengaruh paham radikal membuat anak-anak juga ikut terbawa. Anak-anak pengikut aliran radikal ini secara tidak langsung sudah terpengaruh paham radikal. Dikhawatirkan, apabila hal tersebut dibiarkan maka paham radikal dapat tertanam sejak dini dengan mempengaruhi perilaku anak-anak.

Terlepas dari ideologi mereka yang disebut "teroris", tanpa kita sadari nasib dan cara pandang mereka akan membentuk karakter bangsa pula, karena mereka adalah manusia-manusia Indonesia, sang penerus estafet kemerdekaan negeri ini.

Tindakan pencegahan selama ini terasa sangat minim terhadap kalangan anak-anak muda yang masuk dalam kategori at risk groups (kelompok berisiko) seperti anak-anak yang terlahir di wilayah konflik atau anak dari mantan kombatan yang cenderung mengafirmasi kekerasan. Dalam usia yang sangat muda ini pada hakikatnya mereka dalam masa pembentukan jati diri. Mereka masih labil dan mudah terpengaruh lingkungan di mana mereka tumbuh dan berkembang.

Menyimak realitas sosial ini, kita pun patut bertanya, “Siapa yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak mantan dan narapidana teroris?”

Kini dirasa perlu dibentuk Komisi Khusus penanganan anak-anak mantan teroris. Karena anak usia dini merupakan masa emas dan periode yang tepat dalam pembentukan karakter. Selama ini pemerintah hanya fokus pada penangkapan terduga teroris saja dan memenjarakan mereka, tapi belum memberi perhatian cukup kepada anak-anak dan keluarga mereka yang turut terkena dampaknya baik secara psikologi maupun ekonomi. Sehingga dirasa mendesak pembentukan Komisi Khusus penanganan anak-anak korban radikalisasi.

Kita meminta pemerintah serius memperhatikan hak anak-anak eks teroris. Itu merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah.  Pemerintah tidak boleh lepas perhatian kepada anak-anak ini baik yang orangtuanya di dalam penjara, meninggal dunia ataupun yang sudah bebas.. Anak-anak ini harus mendapatkan jaminan atas hak-hak dasar.

Bukan hanya cukup dengan menangkap dan menghukum, tapi bagaimana harus menjamin hak anak atas pendidikan, makanan dan kesehatan. Bagaimana agar anak-anak eks teroris ini bisa diterima kembali oleh masyarakatl. Masyarakat juga harus diedukasi agar mau menerima dan tidak membeda-bedakan. Mereka pun anak warga negara Indonesia. Tidak boleh ada perbedaan di antara mereka.

Jangan mengundang opini bahwa anak eks teroris ini, berbeda dengan anak-anak lain. Yang perlu dibina adalah anak-anak dan keluarganya agar mereka berdialog dengan masyarakat sekitar. Sehingga proses berbaur itu semakin cepat dilakukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline