Lihat ke Halaman Asli

Abuya IrfanRahman

Owner Sekolah Alam Dharmasraya

Legenda Batu Agung - Cerita Rakyat Kampung Surau Dharmasraya

Diperbarui: 2 Mei 2023   13:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Di Kampung Surau hiduplah sebuah keluarga miskin di sebuah gubuk dekat aliran sungai. Gubuk kecil itu dihuni oleh seorang Ibu yang sudah paruh baya dan anak laki-lakinya yang masih belia. Negeri Kampung Surau yang damai ternyata tak sedamai hidupnya keluarga kecil itu. Suaminya yang telah tiada memaksa sang Ibu berjuang sendirian. Sang Ibu menghidupi anaknya dengan hasil tanaman yang ditanam disekitar gubuk. Walaupun anaknya tidak bisa ia sekolahkan layaknya anak-anak yang lain, namun sang Ibu tetap mengajari anaknya budaya dan kebiasaan yang baik di rumahnya. Hingga anak ini tumbuh menjadi seorang anak yang matang.

Suatu hari sang anak yang sudah berakal ini menatap langit biru. Melihat burung-burung yang bermain ria. Ia melamun membayangkan masa depan yang indah. Ia ingin merubah nasib keluarga dengan merantau ke negeri seberang, seperti kebanyakan anak muda lain di kampungnya. Pergi merantau dan pulang membawa harta untuk sang Ibu tercinta. Tak sengaja air matanya meleleh ketika melihat keadaan sang Ibu yang makin hari semakin tua. Menanggung beban dunia sendirian. Didalam hati ia bergumam, bahwa ia ingin pergi merantau ke negeri seberang.

Berselang beberapa hari, hatinya pun semakin kuat untuk mengadu nasib di tanah jawa. Niat itupun akhirnya diutarakan pada Ibunda. Dengan berat hati akhirnya sang Ibu pun mengizinkan. Mengingat sang anak berhak menentukan masa depannya.

Hari yang pilu pun tiba. Pagi itu, sang Ibu menyiapkan perbekalan untuk anaknya dengan muka mengiba. Satu demi satu kristal bening keluar dari sudut matanya. Bagaimana tidak, anak satu-satunya yang ia besarkan dengan keringat dan darah, kini akan pergi meninggalkannya. Baju, makanan dan beberapa logam rupiah disiapkan. Dibungkus dengan kain yang sudah mulai lusuh.

Dipinggir sungai ia melepas anaknya yang akan berlayar ke negeri seberang. Ibunda langsung memeluk putranya dengan erat seiring kapal yang membawa anaknya pergi sedang menepi. Pelukan terakhir seakan tak mau dilepas. Sang Ibu takut anaknya tak kembali. Berkali-kali ia ciumi anaknya dengan rasa cemas.


“Hati-hati di rantau urang Nak. Capek pulang kalau lah berhasil.” Itulah kata-kata terakhir yang terlontar dari mulut sang Ibu. Anaknyapun mengangguk, tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya kelu dan air matanya berlinang. Yang ada dalam benaknya adalah bagaimana ia bisa merubah nasib keluarganya. Ia akan berjuang sekuat tenaga untuk membahagiakan Ibunda. Ia peluk Ibunda erat-erat penuh rindu.


Kapal pun akhirnya berangkat, meninggal negeri Kampung Surau. Berlayar menuju tanah seberang, tempat sang anak mengadu nasib. Mewarisi keteguhan ibunya, Sang anak pun sangat giat bekerja. Pesan ibunda selalu diingat. Wajah orang tua yang semakin hari semakin keriput dimakan usia, dijadikan campuk untuk terus berjaya.

Hari berganti hari, tak terasa sudah dua puluh tahun lebih ia merantau. Jerih payah selama ini akhirnya berbuah manis. Dulu pakaian anak ingusan Kampung Surau itu tidak terurus, kini telah berubah menjadi necys bak pakaian seorang raja. Dulu musiknya hanyalah Pupuik Batang Padi, kini sudah punya Gitar, Angklung Tanah Jawa , Kecapi dan Gong yang sangat besar. Ia hobi memainkan musik dan bernyanyi, sebagai obat rindu pada kampung halaman.

Sekarang sang Anak sudah berhasil dan berjaya di rantau orang. Ia sudah mempunyai puluhan orang anak buah dan pelayan. Ia mempunyai seorang isteri yang selalu setia menemaninya. Isterinya mempunyai wajah yang cantik jelita dan bodi yang berbentuk gitar Spanyol. Bak putri seorang raja.


Suatu hari sang Anak teringat Ibunda sendirian di tanah kelahiran. Ia ingin pulang kampung, menyilau Ibunda tercinta di kampung halaman. Membawa janji yang dulu pernah ia utarakan.


“Caliaklah anak amak ko, Mak. Nasib kito lah barubah dan Amak berhak manikmatinyo.” Ucap sang Anak didalam hati ketika teringat ibunya yang hidup sendirian di kampung tercinta, di negeri Kampung Surau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline