Setiap malam, setelah Sholat Tarawih usai, beranda Masjid Agung Palembang menjadi tempat bagi satu sosok yang duduk sendiri, menghisap rokok, dan mengamati orang-orang pulang ke rumah mereka. Sosok itu adalah saya, seorang bujangan yang belum berkeluarga, terjebak dalam pusaran pikiran yang melingkupi kehidupan dan kekosongan yang terasa semakin dalam di setiap langkahnya.
Di bawah cahaya remang-remang lampu masjid yang menyala redup, saya duduk dengan santainya, berada dalam kesendirian yang hanya bisa terobati oleh langit malam yang membentang luas di atas sana. Rokok yang kupakai adalah satu-satunya teman setia dalam kesendirian ini, seakan menjadi penghubungantara pikiran-pikiran yang mengalir begitu deras dalam benakku dan dunia luar yang terus bergerak tanpa henti.
Mataku memandang tanpa tujuan pasti, menyaksikan orang-orang pulang dari masjid, beriringan dengan langkah yang ringan atau kadang berat, tergantung pada beban yang mereka pikul dalam kehidupan masing-masing. Beberapa terlihat ceria, tertawa dan berbincang dengan teman-teman mereka, sementara yang lain terlihat lelah, wajahnya terpatri dengan kesedihan yang dalam, barangkali membawa beban rahasia yang tak terungkapkan kepada siapapun.
Sementara mereka pulang ke rumah mereka yang hangat, saya tetap di sini, duduk di beranda masjid yang sepi, merenung tentang arti dari kesendirian yang kian terasa dalam setiap detiknya. Kesendirian ini bukanlah pilihan, melainkan kondisi yang terpaksa saya terima karena takdir yang belum memberikan saya keberuntungan dan kehidupan yang mudah.
Tapi dibandingkan dengan saudara/i kita di Gaza maka kehidupan saya terasa seribu kali lebih baik, di titik inilah saya merasa bersyukur Ketika matahari terbenam dan malam mulai menjelang, pikiran-pikiran gelap itu sering kali melanda, menghantui malam-malam sepi saya. Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban terus berputar di kepala saya: mengapa hidup ini harus begini? Mengapa takdir mempertemukan saya dengan kesendirian yang demikian menyakitkan? Apakah ada yang salah dengan diri saya?
Namun, di tengah kegelapan pikiran itu, saya juga menemukan kekuatan untuk bersyukur atas hal-hal kecil yang masih bisa dinikmati. Melihat langit malam yang berbintang, merasakan angin sepoi-sepoi yang menyentuh wajah, dan mendengarkan suara adzan yang merdu dari dalam masjid, semua itu menjadi pengingat bahwa meskipun kesendirian adalah kenyataan yang sulit, namun masih ada keindahan kecil yang bisa dinikmati dalam perjalanan hidup ini.
Menghisap rokok menjadi ritual yang tak terpisahkan dalam malam-malam sendiri ini. Rokok bukanlah teman yang sehat, namun menjadi pelarian sementara dari pikiran-pikiran yang terus menghantui. Dalam setiap tarikan, saya merasakan sedikit kenyamanan yang mengalir melalui tubuh, sebelum kembali tenggelam dalam lautan pikiran yang tak berujung.