Lihat ke Halaman Asli

Jong Celebes

pengajar

Gara-gara Pilkada, Kita Bercerai!

Diperbarui: 16 April 2017   21:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber :kapanlagi.com

3 bulan terakhir suhu politik telah memanas tidak hanya di Jakarta tapi seluruh Indonesia. Hal ini dipicu dengan adanya agenda politik nasional yaitu pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak. Salah satu daerah yang ikut konstelasi politik ini adalah Jakarta.  Sebagai ibukota negara sekaligus wajah atau barometer Indonesia secara keseluruhan, Jakarta tidak luput dari perhatian masyarakat Indonesia bahkan dari luar negeri apalagi saat sekarang ini yang telah sedang dan akan kembali menggelar pesta demokrasi lima tahunan memilih gubernur, pemimpin Jakarta 5 tahun ke depan.

Panasnya suasana politik tidak hanya terjadi di warung kopi,halte-halte,pasar dan forum-forum diskusi formal tapi juga terjadi 'perang' di dunia maya (daring) / sosial media. Tingginya animo masyarakat dapat terlihat dari linimasa netizen yang berseliweran di sana. Ujungnya, masyarakat terbagi, kalau tidak mau dikatakan terpecah menjadi dua kubu, yakni pendukung nomor urut 2 ( Ahok-Jarot) dan pendukung nomor urut 3 (Anies- Sandi). Sebelumnya terbagi tiga,yakni kubu 1 ( Agus-Sylvi). Masing-masing kubu kini mati-matian membela calonnya bahkan ada sebagian pendukung yang menghalalkan segala cara misalnya menebar dan menyebar isu SARA dan Hoax news untuk menyerang kubu lain. Yang paling heboh dan menjadi perhatian se antero negeri yakni soal kasus yang menimpa Basuki Thahaja Purnama atau akrab disapa Ahok. Ia dipolisikan karena dianggap menistakan agama dengan mensitir surah Al Maidah 51 saat berpidato dalam kunjungan kerjanya ke Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu. Peristiwa ini pun viral atau ramai dibahas netizen tatkala Bun Yani menguploadnya di sosmed miliknya. Bagai  bola salju,, kasus ini membesar menjadi isu nasional dan 'santapan' empuk bagi lawan politiknya,  baik yang bermukim dan ber ktp Jakarta maupun di luar Jakarta. Semua bereaksi. Dari sini merembet ke isu-isu lainnya, saling serang pun terjadi. Dunia sosmed menjadi arena 'perang' psywar. timeline dan  update status, dipenuhi ujaran bernada menyerang. Kubu satu menyerang kubu lainnya dan sebaliknya. Paslon 2 pun 3 tidak luput dari bully dan serangan cyber. Masing-masing kubu mencari celah untuk menjatuhkan pihak lawan. Yang paling aneh menurut saya adalah pengunaan simbol-simbol agama untuk kemudian 'digoreng' untuk menaikkan jagoannya di sisi lain menjatuhkan paslon lain. Salah satunya, penggunaan istilah kafir bagi calon lain bahkan lebih ekstrim lagi adanya statement yang entah darimana asal-usulnya mencuat menjadi meme di sosmed yang mengatakan haram menshalatkan jenazah para pendukung si 'kafir' dan seterusnya. Belum selesai persoalan itu, ditambah lagi stigma Cina dan pribumi.. Ini kontraproduktif dan masuk ranah negative campaign bukan sebaliknya  memunculkan program masing-masing paslon dalam membangun Jakarta. Kampanye model ini sangat dekstruktif bagi harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara terutama kerukunan beragama di negeri ini yang telah susah payah dibangun oleh para pendahulu kita. Dengan cara ini, kita kembali ke titik nol/primitif dalam  kerukunan bernegara. Lihat saja, silaturahim menjadi terputus, saling unfriend di dunia medsos, saling bully terjadi, maraknya berita hoax, komentar-komentar nyinyir/ tendensius di linimasa sosmed dan prilaku tidak toleran lainnya. Semua gara-gara Pilkada, yang notabebe hanyalah urusan dunia semata. Urusan duniawi yang coba-coba dikaitkan dengan urusan akhirat (agama). Celakanya lagi, masing-masing kubu saling mengklaim calon penghuni surga, kalau begitu neraka kosong dong.  Kubu lain dicap kafir, calon penghuni neraka, pendukungnya haram dishilatkan kalau meninggal. Di sisi lain, kubu yang satu menganggap dirinya paling nasionalis pancasilais, berbhinneka tunggal ika sementara yang lain radikal ekstrimis anti pancasila. Lagi-lagi mengkavling Indonesia milik mereka yang sementara yang lain hanya penumpang. yang satu mengklaim sebagai pribumi dan yang lain non pribumi. lantas muncul iklan berbau SARA dengan kalimat provokatif ' Ganyang Cina' yang dilakukan oleh sekelompok orang berpeci (tendensi lagi) meski buru-buru dihapus karena protes masyarakat.

 Inilah efek demokrasi/pilkada yang kita agung-agungkan selama ini. produk yang katanya serentak tapi tidak bikin kompak justru malah memecah belah. Akhirnya, Mungkin inilah yang dimaksud oleh Cak Nur (Nurcholis Madjid) bahwa masyarakat perlu difahamkan soal mana wilayah profan (duniawi) mana urusan transenden (sakral). Politik adalah urusan duniawi, sedangkan nilai-nilai agama adalah wilayah sakral/suci, sangat suci untuk dijadikan komoditas politik praktis yang sempit, jangan 'memamfaatkan' urusan sakral demi kepentingan duniawimu. Buktinya, Pilkada~pilgub Jakarta telah merenggut silaturahim warga Jakarta bahkan masyarakat luar Jakarta. Ia telah merusak keharmonisan berbangsa dan bernegara, ada suami istri bertengkar gara-gara pilkada, saudara kandung menjadi musuh, pertemanan di sosmed menjadi renggang dengan saling blokir dan unfriend (hapus pertemanan). Kalau sudah begini, masihkah kita memerlukan pilkada?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline