Lihat ke Halaman Asli

Ngawurnya Aturan Pajak

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Di Indonesia rakyat kecil selalu sengsara, salah satunya untuk urusan pajak. Berikut ini beberapa kengawuran (kezaliman) aparat pajak terhadap rakyat kecil :

1. Wajib pajak (WP) yg dengan omzet 1 tahun sd Rp. 4,8 milyar yang tidak bisa menyelenggaran dapat memilih menggunakan norma penghitungan penghasilan neto yg diatur dg Keputusan Dirjen Pajak. Sejak tahun 2001 norma untuk pedagang eceran tidak masuk akal yaitu 20%, 25%, dan 30% tidak peduli yang dijual barang apa. Ternyata dengan menggunakan norma tersebut misalnya yg 2o% maka untuk wp hampir habis untuk bayar PPh, apalagi kalau pakai yg 30% pajaknya lebih besar dibanding untungnya, akibatnya wp pedagang eceran yg pakai norma tidak ada yg lapor omzet sebenarnya dlm spt dan kalau diperiksa akan dikenakan ketetapan pajak yang menghabiskan harta wp.

2. Batasan pengusaha yg menyerahkan barang yang kena PPN jika omzet setahunnya di atas Rp. 600juta wajib mungut PPN (disamakan dengan penyerahan jasa kena PPN). Hal ini jelas tidak masuk akal. Bagi orang dagang omzet Rp.600juta paling cuma ada untung bersih Rp.30juta. Sedang untuk jasa bisa mencapai Rp. 300juta (mis : jasa salon kecantikan atau jasa salon mobil)

3. Pengusaha Kena PPN yg omzetnya Rp. 1,8 M dalam 1 tahun dpt memilih menggunakan deemed pajak masukan (PM) sebesar 70% dari pajak keluaran PK). Hal ini tujuannya memudahkan WP tetapi mungkin karena aparat pembuat aturan pajak tidak tahu kondisi lapangan, aturan ini justru membunuh wp kecil. Sebab dg deemed PM = 70% x PK berarti dianggap wp dapat laba kotor (pertambahan nilai) sebesar 30%. Padahal saat ini tidak ada orang dagang yang dapat laba kotor sampai 30%, maksimal paling 15%. Bahkan ada yang dibawah 2% seperti pedagang semen dan pedagang pulsa. Sehingga kesalahan aturan tersebut adalah menganggap laba kotor semua jenis barang dagangan sama. Kalau mau adil bagi PKP yang tidak mendapat PM, seharusnya PPN yang disetor ditetapkan sebesar 10% dari laba kotor / pertambahan nilai atau deemed PMnya sebesar 10% dari Harga Pokok.

4. WP yg bukan PKP atau yang sudah PKP tetapi tidak mengkredikan PM, PM tidak diakui saat pemeriksaan. Hal ini jelas membunuh WP. Banyak WP dengan margin laba kotor dibawah 10% dikenakan PPN yg harus disetor 10% dari omzet dan PM yang telah dibayar tidak dpt dikreditkan krn belum PKP atau krn blm dilaporkan sehingga PPN yang hrs dibayar jauh lebih besar dari laba kotor WP (apalagi dari Laba bersih). PM sudah WP bayar tetapi tidak dapat dikurangkan dari PK hanya karena syarat formal (belum PKP / PKP yg belum mekreditkan PM)

5. Masih banyak aturan pajak yang menyengsarakan rakyat kecil dan tidak masuk akal, seakan-akan aparat pajak itu benar-benar tidak tahu kondisi real di dunia bisnis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline