Lihat ke Halaman Asli

Hijrah dari Kebencian

Diperbarui: 21 September 2017   07:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hijrah dalam arti kekinian mungkin bisa disamakan pengertiannya dengan ' Move On', walaupun hijrah lebih dikenal dari sejarah nabi Muhammad SAW yang memutuskan untuk meninggalkan Mekkah kota kelahirannya ke kota Madinah bersama para pengikutnya untuk melanjutkan syiar Islamnya, namun pada masa sekarang hijrah juga ditafsirkan sebagai sebuah keputusan untuk berpindah dari kondisi awal ke kondisi yang lebih baik. Hijrah juga diartikan sebagai sebuah pencarian sesuatu yang lebih ideal dan lebih menjanjikan dari keadaan yang sebelumnya kurang menguntungkan.

Memegang Kebenaran, Menyimpan Kebencian

Saat ini kembali ramai perdebatan tentang PKI, lebih spesifiknya tentang kebenaran peristiwa G 30 S/PKI yang dituangkan dalam film Pengkhianatan G30 S/PKI yang dianggap sebagai film propaganda buatan orde baru. Baru baru ini kelompok yang mengklaim diri sebagai 'korban' kekejian tentara dan kelompok anti komunis pasca peristiwa G30 S/PKI kembali berniat mengadakan pertemuan yang intinya untuk melakukan 'Pelurusan Sejarah' di gedung LBH Jakarta. 

Mereka menyatakan bahwa mereka adalah kelompok yang paling teraniaya dan terpinggirkan setelah peristiwa kelam dalam sejarah bangsa Indonesia itu. Kebenaran yang mereka pertahankan menggerakan hati mereka untuk menuntut keadilan kepada pemerintah dan memposisikan diri sebagai kelompok yang paling berhak untuk mendapat predikat sebagai 'Korban' dari kelanjutan peristiwa Gestapu, menuduh tentara dan kelompok anti komunis yang notabene kelompok Islam telah membunuh ribuan bahkan jutaan orang dari kelompok mereka.

Sudah bisa dipastikan gerakan ini mendapat reaksi keras dari kelompok anti komunis mereka yang  juga memegang fakta fakta kebenaran yang telah mereka punya sejak lama. Segala bukti sejarah kembali dimunculkan sebagai reaksi ketidaksetujuan atas cerita pelurusan sejarah yang akan dilakukan oleh kelompok mantan penggiat komunis dan anak anaknya tersebut. Bahkan reaksi tersebut berhasil menggagalkan rencana pertemuan di gedung LBH Jakarta yang berujung kisruh dengan berbagai kondisi yang menambah runcingnya kebencian di kedua belah pihak. 

Situasi ini diramaikan juga dengan perintah Panglima TNI yang memerintahkan pemutaran kembali film 'Penghianatan G30 S/PKI'  kepada seluruh prajurit TNI, reaksi pro kontra tentang pemutaran film ini mencuat ke permukaan dan pendapat berbagai kalangan bermunculan dari mulai rakyat biasa, pejabat publik, bahkan sampai presiden Joko Widodo. Perintah panglima TNI ini wajar karena sebagai institusi yang berada di garda depan penumpasan komunis di Indonesia, prajurit prajurit mudanya harus tahu sejarah dan bahaya laten komunis, dengan film itulah sarana yang paling ideal digunakan.

Kedua belah pihak sama sama menyimpan fakta fakta kebenaran, namun segala argumentasi dan perdebatan itu tidak menuju pada sebuah kebenaran sejati, karena masing masing pihak merasa kebenaran yang mereka punyalah yang paling benar dan paling sahih dianggap sebagai bukti sejarah. Kebenaran yang mereka pegang teguh tersebut menghasilkan kebencian pada pihak yang menuduh fakta kebenaran mereka palsu dan tidak sesuai kenyaataan, kebencian yang berlarut dan berpotensi membutakan niat dan semangat mencapai sebuah rekonsiliasi sebagai sesama anak bangsa untuk bersama memandang ke depan dan meninggalkan sejarah kelam tersebut sebagai pelajaran berharga yang tak perlu diungkit sebagai luka lama yang menyakitkan dan menghasilkan dendam. Kebencian berlarut ini telah terpelihara selama limapuluh dua tahun.....

Mencari Kesalahan Diri Sendiri

Menarik pernyataan Gubernur Lemhanas, Letjen TNI (purn) Agus Widjojo yang notabene adalah anak pahlawan revolusi, korban utama kekejaman pasukan Tjakra Birawa yang dianggap sebagai eksekutor para jendral korban peristiwa G30 S/PKI. " Kalau masalah dendam, sayalah yang paling berhak atas dendam itu..." Lebih lanjut Letjen Agus Widjojo memberikan nasehatnya agar pihak-pihak yang berkonfrontasi dalam pencarian kebenaran peristiwa Gestapu teresebut, untuk " Melihat kesalahan diri sendiri, bukan melihat kesalahan orang lain...". 

Rekonsiliasi tidak akan tercapai jika kita mengklaim kita yang paling benar, pencapaian untuk mencari solusi akan terwujud jika semua mampu mengintrospeksi diri, setelah ditemukan akui hal tersebut sebagai kesalahan dan bersama sama membulatkan tekad untuk meninggalkan kesalahan kesalahan tersebut di belakang lalu memulai membuat lembaran baru yang mempersatukan seluruh anak bangsa ini. Demikian kurang lebih pernyataan beliau...

PKI dengan segala kesalahannya, tidak bisa dipungkiri sebagai catatan sejarah perjalanan bangsa yang kelam, dua kali upaya pemberontakan yang menimbulkan korban dari banyak pihak walaupun dengan segala kontroversinya tetap sulit dicari pembenarannya sampai kapanpun. Penumpasan komunis oleh pemerintah orde baru yang menimbulkan korban dari pihak komunis juga merupakan sejarah bangsa ini yang tidak bisa dilupakan begitu saja, tentunya juga dengan segala kontroversi yang mewarnainya. Jika kedua sejarah ini selalu dipertentangkan dengan mengedepankan segala fakta yang tidak sama, maka tidak akan ada ujungnya, tidak akan ada titik temu yang pasti yang bisa menghasilkan solusi apalagi rekonsiliasi...

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline