Lihat ke Halaman Asli

Menjual Kebohongan, Menjual Fenomena

Diperbarui: 8 September 2017   18:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Ramai orang berdebat stlh Saracen terbongkar oleh polisi sbg penjual ujaran kebencian di media sosial, sejumlah nama yg tersangkut atau disangkut pautkan dgn organisasi yg terorganisir rapi sejak 2015 ini mulai muncul membuat klarifikasi dan pembelaan diri, ada juga pengamat pengamat yg mengeluarkan opini mengutuk, menghujat, mengharamkan, mementahkan, mengaburkan, bahkan ada yg berani menyatakan bahwa Saracen ini sebuah penciptaan kondisi oleh aparat kepolisian.

Demikian juga orang orang yg dulu acap bermain kata kata di medsos dgn tujuan memicu reaksi dan sentimen lebih masyarakat terhadap sebuah persoalan yg muncul atau dimunculkan, keluar dari persembunyiannya utk menyatakan ketidakterlibatannya dgn Saracen.

Menarik apa yg disampaikan ahli filsafat Rocky Gerung (konon dia tdk bergelar profesor, tp Sarjana Sastra.. mudah2an bkn Hoax)  ILC semalam, selain ketidaksetujuannya melihat reaksi masyarakat thd hoax, salah satu inti omongannya yg menggelitik kurang lebih seperti ini, bahwa sebenarnya Hoax itu sarana penyeimbang dlm tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara supaya orang lebih bisa meningkatkan kualitas akal sehat dlm menyikapi berbagai persoalan, tingkatkan IQ mu, maka Hoax akan teratasi. Pendapat lainnya menyebutkan bahwa pemerintahlah pembuat hoax terbaik... (yg ini saya tepok jidat)

Setuju atau tidak dgn teori itu tergantung IQ juga sih... , cuma kenyataannya banyak orang orang dgn intelektualitas tinggi juga percaya hoax....

Disamping itu masyarakat kita saat ini yg  sedang gandrung gandrungnya bermain di media sosial dan menjadikan medsos sbg salah satu tempat mencari identitas bahkan kredibilitas, semua berupaya menggauli medsos lewat berbagai aplikasi utk menunjukan eksistensinya supaya terlihat hebat dan baik dimata orang lain.

Di medsos, status, profesi, kepribadian, karakter, kesukaan dan sebagainya bisa dirubah sesuai keinginan kita, bahkan agamapun kalau mau berpindah pindah tidak ada yg akan bilang murtad di medsos.

Media sosial sangat memungkinkan membuat seseorang yg bukan ustad bisa dgn cepat bisa jadi ustad hebat, yg bukan ahli politik bisa jadi pengamat politik kawakan, yg tdk pernah belajar ekonomi bisa dgn mudah menjadi ekonom handal dgn pendapat ekonominya, yg awak terhadap dunia militer bisa spontan jadi kritikus masalah militerisme.

Siapapun bisa jadi apapun yg dia mau, hanya dgn modal jari jari tangan dia, lalu 'copy and share'. Semua itu sangat mudah dilakukan dgn modal android atau smart phone seharga ratusan ribu saja.

Dipercaya orang atau tidak itu urusan belakangan, mendekati salah atau menjauhi benar apa yang dishare bukan persoalan utama, sumber berita bisa dipercaya atau abal abal tidak penting, dibaca orang kemudian dapat satu jempol saja sudah cukup menghasilkan kepuasan bagi si pengirim apalagi dapat lebih dua jempol ditambah komen " ijin share ya.." waah itu sudah bisa menjadi legitimasi kuat bahwa si pengirim memang sudah pintar.

Lebih jadi bergaya lagi kalau berita yg dikirim sudah mencatut nama pakar, orang terkenal atau organisasi besar, nilai jualnya akan lebih tinggi dan puluhan bahkan ratusan jempol atau komen jadi imbalannya.

Itulah kenyataan sekarang yg terjadi di tengah masyarakat kita, rasa dan akal sehat ditinggal di belakang demi sebuah euforia, kepuasan semu, kesenangan maya dan kepentingan sejati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline