Lihat ke Halaman Asli

Semoga Kalian Tidak

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Entah berapa kali aku berjumpa dengan Ramadhan. Entah berapa kali pula aku meninggalkannya. Sekian kali aku bertemu Ramadhan, sekian kali pula ku ramaikan masjid dan musholla. Sekian kali pula ayat suciMU dilantunkan dengan pengeras suara sepanjang malam.

Suasana yang menyejukkan, meneduhkan, menggetarkan hati dan menambah keimanan ….wajilat qulubuhum waiza tuliyat ‘alaihim ayaatuhu zaadathum imaana… (Qala Allah)

Tak terbayang manakala hati yang bergetar saat mendengar ayat Tuhan diperdengarkan, akan menggetarkan pula semangatku untuk tak melakukan kesalahan berikutnya pada peristiwa yang sama disebelas bulan kemudian.

Voltage energy kekuatan Qur’an seolah merontokkan bintang gemintang dari tangkainya. memenuhi angkasa kampungku yang akan membawanya kedalam qalbuku setelah prosesi menahan diri sebulan penuh. Dengan begitu aku akan menahan diri pula usai Ramadhan disetiap sepak terjang pergaulan sosial yang bermuara pada perdamaian.

Para penceramah, muballigh, khatib dan sebagainya ber fastabikul khairat mengabarkan bahwa aku diberikan kasih sayangNya, ampunanNya dan terhindar dari api nerakaNya selama menikmati rasa lapar, rasa haus dan keinginan untuk tak bermesraan dengan isteri disiang hari pada sepuluh haru pertama, kedua dan sepuluh hari terahir.

Beragam thema dituliskan dan disuarakan oleh mereka yang memiliki kemampuan untuk itu. Mulai dari bulan penuh ampunan, bulan introspeksi, bulan barokah, bulan kasih sayang, bulan seribu bulan, bulan melatih kepekaan sosial, serta bulan-bulan lainnya yang tak mungkin bisa ditulis di ruang terbatas ini.

Namun adakah jaminan aku sudah faham? Adakah peningkatan penghayatan dari proses permenungan selama menahan diri? Apakah gerak sosial Ramadhanku masih jalan ditempat? Adakah aku makin peduli sesama? Adakah aku masih suka saling mencaci lagi? Apakah aku tak menjadikan buruk sangka sebagai pedomanku sepanjang tahun?

Adakah disepuluh hari terahir kejahatan dikampungku tak meningkat meski pintu neraka ditutup? Adakah ruang didalam hati dan pikiranku untuk sesekali bertanya, bahwa yang salah bukan hanya mereka, tetapi juga aku? Adakah tindakan dan ucapanku tak lagi mencederai perasan saudaraku sesama? Adakah aku tak lagi merasa benar sendiri, yang lainnya kafir dan hanya aku yang suci sehingga berhak atas syorgaNya?

Begitulah pertanyaan yang meluncur dibenakku menjawab apa yang kulihat dihadapanku setiap usai Ramadahan sepanjang tahun. Ketika datang sang Ramadhan kuramaikan masjid dan musholla. Ketika Ramadhan pergi akupun ikut meninggalkan masjid dan musholla.

Datang dan perginya Ramadhan telah kurasakan setiap tahunnya. Laksana seorang tamu yang hendak mengunjungi rumah, akupun punya cara yang beda menyambutnya.

Jika yang datang adalah Gubernur atau Walikota, aku akan sangat bangga menerimanya dengan segala persiapan yang diatur sedemikian rupa, hingga suasana pemuliaan itu akan sangat sesuai dengan anjuran untuk  ikromudldlaif – memuliakan tamu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline