Bersyukur. Di era milenial yang kadang banal ini, tradisi tilik haji masih dirawat, terutama di kalangan masyarakat pedesaan, sebagai ikhtiar mengeratkan jalinan silaturrahim sekaligus saling mendoakan.
Eh, adakah yang belum familiar dengan istilah "tilik haji"? Baiklah, kita minta bantuan antropolog yang sudah naik haji, untuk mendefinisikan. Melalui buku Talbiyah di atas Ka'bah: catatan spiritual seorang antropolog, Prof. DR. H. Mudjahirin Thohir, M.A. memaparkan demikian, "Tilik haji adalah berkunjung ke rumah orang yang akan berangkat atau pulang ibadah haji."
Beberapa hari lalu saya bertilik haji. Bersama tuan rumah, kami melakukan kegiatan berupa menyeruput teh manis; mengudap kerupuk antor, martabak, wa ahlihi wa ashabihi.
Mula-mula tema perbincangan kami seputar makna ibadah haji dari aspek spiritualitas, religiusitas, dan tas tas yang lain, selain tas kresek.
Obrolan berlanjut tentang buku-buku, Ghazali, Toean Haji Edi Mulyono, Prof. Ahmad Toha Faz, Fritjof Capra, Stephen Hawking, Mahfud Ikhwan, Orhan Pamuk, Yuval Noah Harari, Keren Armstrong dan embuh siapa lagi, yang jelas bukan Jamal Mirdad maupun Elvy Sukaesih.
Sungguh, perbincangan ini kian menyadarkan bahwa saya tak lebih dari sekadar "serit kutu" (meminjam istilah toean Haji Edi AH. Iyubenu) yang lupa jalan pulang.
Ibu-ibu PKK berdatangan memenuhi separuh ruang tamu. Kita tahu, PKK merupakan singkatan dari Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga. Jadi, bila keluarga Anda ingin berdaya dan sejahtera, masuklah ke dalam golongannya. Syarat utamanya Anda wanita. Laki-laki maupun bencong tidak boleh ambil bagian.
Salah satu Ibu bertindak sebagai juru bicara. Ia menyampaikan maksud kedatangan rombongan. Lalu membacakan teks doa yang disediakan tuan rumah. Yang lain mengamini. Dilanjutkan sambutan sang calon haji.
Usai sambut-menyambut, tibalah sesi terakhir. Setelah berpamitan, sebelum bersalam-salaman, sang jubir membaca shalawat dengan lantang, "Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad". Jamaah menjawab serentak, "Allahuma sholli alaih."
Dalam konteks ini shalawat mengalami perluasan makna dan fungsi. Secara kultural, ketika shalawat dibacakan di akhir pertemuan, slametan, misal, berfungsi sebagai semacam aba-aba: "Bubaar jalan!"