Lihat ke Halaman Asli

(Renungan Romadhon) Mohon Maaf, Aku Pernah Nyolong

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Yah sudahlah, namanya juga sejarah, tak akan pernah bisa di ulangi untuk di revisi.

Sebagai anak kampung, aku lahir dan tinggal di kota kecil, kota kabupaten. Dan seperti  di semua wilayah di Jawa Timur hampir pasti  ada sawah yang disewa pabrik gula untuk ditanami tebu. Tebu jaman itu sangat beda dengan tebu jaman sekarang. Tebu jaman dulu, besar2 tinggi dan airnya itu lho sangat banyak. Tetapi jaman itu malah belum pernah lihat loh ada orang jualan es sari/air tebu seperti sekarang. Tebu jaman itu enggak bangetlah, ndesit pokoknya, ga tega kali ya untuk dijual air tebunya.

Namanya juga anak2, meski di rumah ga kurang sandang pangan, mungkin karena pengaruh ajakan teman, dan trend nya waktu itu nyolong tebu, yo wis acara rutin saat tebu  berbunga, artinya tebu sudah tua dan menjelang dipanen pemiliknya (pabrik gula), maka boleh dong kita icip2 barang sebatang dua batang.

Aku ingat, saat itu kelas enam SD, kami ber empat dengan dua sepeda, karung goni, dan pisau Pramuka, (tanpa pamit ke ortu) berangkatlah ke kebun tebu terdekat, di desa Madriasri, kira2 lima kilometer dari rumah. Sejauh mata memandang hanya pohon tebu yang terlihat. Ga akan habis juga meski dimakan orang lima kampung, pokoke.

Dengan strategi agar kalau konangan ketahuan mandor/penjaga tebu maling2 kecil ini bisa mudah melarikan diri, maka sepeda kita titipkan dirumah Lik Pardi di Jururejo, jauh dari tkp.

Berjalan kaki mungkin hampir satu kilo meter, anak2  sekecil itu kok ya ga ngerasa capek lho, maklum ada target reward di depan sana. Kami pilih lokasi yang paling banyak terlihat tebu yang berbunga (berbunga, artinya tebu sudah tua), jika terlihat bunga tebu me lambai2,  kami datangi. Waktu itu tak semua orang berani masuk kebun tebu, ketahuan mandor/penjaga tebu bisa di ketapel, minimal benjol kepala atau paling apes ditangkap dibawa ke "kantor". Ngga tahu kantor apa, kantor Koramil atau kantor pabrik,  pokoknya kalau tertangkap bisa gawat keliwat-liwat.

Sambil tolah-toleh kanan kiri, pasukan kami mulai masuk kebun, dengan menyeberangi kanal irigasi sawah yang mulai mengering, airnya sedikit dan berlumpur, maka sendal jepit kami lepas, diikat dipinggang biar ga ilang (kalau hilang, mau jawab apa kalau bokap/nyokap nanya).

Dengan pisau, kami tusuk dulu batang tebu yang kami pilih, kalau kulit tebu langsung pecah dan berbunyi theek, artinya itu tebu pasti sudah tua, dijamin nikmat  manisnya. Makanya di kami ada istilah tebu thek, artinya tebu yang benar2 tua. Enak buwanget gituloh.

Kami selalu pilih tebu yang berada didalam kebun, yang tak terlihat dari jalan, he he atut ketahuan. Dan kami biasanya juga ga banyak kok nyolongnya, paling lima batang, sudah cukup berat dan karung yang kami bawa akan sulit kita evakuasi kalau ke gendutan, berat.

Mungkin hari itu lagi kurang beruntung, baru tiga batang tebu thek kami tebang, tanpa tahu dari mana datangnya, tangan kiri anak kampung sudah dipegang erat oleh seseorang tinggi besar ber seragam coklat, seragam penjaga tebu, kami menyebutnya mandor tebu. Aku masih ingat didadanya ada tulisan nama Djojo Pardi, penjaga tebu yang paling disegani di area itu.

Modiar, pikirku, tanpa di komando tebu ditangan dibuang dan teman2 berusaha membebaskan aku dari cengkeraman pak Djojo Pardi. Belum berhasil melepaskan tanganku, dari depan kami terlihat lagi dua penjaga tebu yang lari menuju ke arah kami. Keruan saja teman2 lebih memilih ambil jurus paling populer kalau ketemu lawan yaitu jurus langkah seribu. Mereka berlari ke segala arah, sengaja agar perhatian penjaga terbagi karena harus  mengejar tiga maling lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline