Kejadiannya sudah beberapa waktu yang lalu, di Surabaya.
Aku sudah agak lama tidak melewati daerah itu, traficlight pertigaan jalan Kendangsari-jalan Kutisari. Biasanya dari arah jalan A.Yani dipertigaan itu, untuk belok kiri ke jalan Kendangsari "boleh langsung", dan itu kebiasanku sejak dulu.
Tetapi ketika itu, ternyata dibawah traficlight sudah ada tulisan "belok kiri mengikuti lampu. Dan ini yang tidak kuperhatikan, hapal seperti biasanya, langsung saja aku belok kiri ke jl.Kendangsari. Dan benar saja, kira2 30meter setelah mobil belok, dari warung kaki lima keluarlah petugas polisi berpakaian dinas lengkap dengan jaket kulit hitamnya. Dia langsung memberi tanda supaya mobil ku menepi, "ada apa ini," pikirku.
Mobil kuhentikan, polisi memberi hormat dan mendekati kaca kanan yang sudah kubuka. "Selamat sore pak, bapak tadi langsung belok, harusnya bapak mengikuti lampu, . . . . ", kata petugas polisi dengan santun. "Tolong saya lihat kelengkapan surat2nya nya bapak, SIM dan STNK nya ".
Selagi aku akan mengeluarkan SIM, polisi ramah itu melanjutkan kalimatnya : "bapak relah melakukan pelanggaran ya pa, jadi bapak bisa di tilang".
Aku sudah siap2 menyerahkan SIM,STNK ke polisi, sementara istriku yang duduk disisi kiriku rupanya sejak mobil distop tadi, sudah "tanggap ing sasmito", tahu apa yang seharusnya dilakukan, istriku sudah memegang dua lembar uang duapuluh ribuan ditangan kanannya.
Sambil memperhatikan tangan kananku yang memegang SIM dan STNK, rupanya petugas memperhatikan juga apa yang di pegang istriku, lalu bekata lah pak polisi :"tetapi dari pada bapak harus repot menghadiri sidang, . . . . . . . mari saya bantu saja bapak", sambil tangan kanannya dengan sigap meraih uang 40ribu yang dipegang istriku. Sedang SIM dan STNK yang sudah siap2 kuserahkan padanya, di sentuhpun tidak.
"Selamat jalan bapak, hati2, perhatikan rambu2 bila mengendarai, . . . . . . . . ." kata petugas polisi gagah itu kemudian, dengan santun dan tangan kanannya dalam posisi hormat.
"Selamat sore pak, terima kasih kami telah dibantu", jawabku.
"Praktis, . . . . . . . . dan ekonomis", kata istriku.
Aneh, sejujurnya aku benar2 merasa tertolong atas kejadian itu, aku bayangkan kalau harus menghadiri sidang, aku harus ijin dulu dari tempat kerja, dsb, dsb,dsb.