Lihat ke Halaman Asli

Abu Al Givara

Hanya Menulis, Bukan Penulis

Berwarga Indonesia, Minoritas Jadi Takut Berhari Raya

Diperbarui: 14 Desember 2021   20:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Bagi umat beragama, ibadah merupakan ekspresi untuk menyembah Tuhannya. Ibadah adalah ritual untuk menundukan diri di hadapannya, sekaligus menyatakan diri kita amat lemah hingga membutuhkan kekuatan dari kebesarannya.

Tak hanya bentuk kerendahan diri, Ibadah juga cara mengekspresikan kerinduan pada sang pencipta. Dengan Ibadah, transaksi diucapkan untuk meretas rasa rindu, juga gejolak jiwa yang bertengkar karna rasa ingin temu yang tak berkesudahan. Terucap dalam jumpa peribadatan meski tak terlihat oleh mata indrawi.

Umat Islam, Kristen, Katolik, Konghucu, Hindu, Budha hingga Yahudi pun melakukannya. Mereka beramai-ramai menjalankan spiritualitas itu, apa lagi menjelang hari besar agama-agama.

Di hari itu, bukan saja hanya Islam dengan Idhul fitri-nya, Kristen dengan Natalnya, Budha dengan Waisaknya, Hindu dengan hari Nyepinya, begitupun yang lainnya.

Di hari besar itu, rasa senang, gembira meniadakan rasa sedih dan letih duniawi, untuk orang-orang kaya-miskin, semua sama di hari itu. Sebab dihari itu, tak ada yang berharga dari segalanya kecuali merayakannya.

Tapi tidak menjadi warga negara di Indonesia bagi kaum minoritas. Mereka selalu dihantui rasa ketakutan. Ber-Tuhan bukan lagi berlindung di atas kuasa Tuhannya, tapi sedang beruji nyali seberapa kuat menanggung ancaman demi ancaman kelompok mayoritas.

Sebut saja yang beragama Kristen. Tiap hari perayaan hari besar Natal, peristiwa buruk tidak hanya datang sekali saja. Dari pelarangan, persekusi, hingga bom di hari raya pernah di Alamo. Kemarin lalu pun mendapatkan duka itu di Sumatra, pelarangan itu terus-menerus terjadi. bukan sesekali terjadi, ketakutan itu tiap tahun berulang kali di tempat dan ruang yang berbeda.

Beragama menjadi takut meski agama mengajarkan keberanian. Bertuhan menjadi khawatir meski Tuhan maha segalanya.

Kepada siapa lagi mengadu, jika menjadi Atheis justru hanya meniadakan Tuhan maha pelindung. Sementara manusia butuh perlindungan jiwa, karena manusia rentan sakit akibat kefanaan dunia yang tidak menampakan sisi surgawi.

Bukan karena Indonesianya, tapi beragama minoritas sekaligus berwarga di Indonesia yang mungkin dianggap salah. Apakah karena kesalahan minoritas memilih menjadi Kristen ataukah karena tidak mengikuti agama mayoritas?

Jika Tuhan bisa diganti dengan sosok yang lain, maka di mana ke-Esa-annya yang tiada duanya itu?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline