Lihat ke Halaman Asli

chairil anwar

Menjadi Tua Adalah Suatu Keharusan Namun Menjadi Dewasa Adalah Pilihan

Melia Malang

Diperbarui: 24 Oktober 2023   19:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti petir disiang hari, saat matahari bersinar sangat cerah, sulit membayangkan kalau petir menyambar, menggelegar, menyapu kesadaran, tapi begitulah yang "Melia" alami. Remaja berusia 18 tahun, ditengah pertumbuhan fisiknya yang semakin matang, wajah cantik dan tubuh yang padat berisi terlihat sintal dengan senyum cerah, dan sedikit lesung di pipinya.

Sekarang saatnya kamu sadar, sudah waktunya, kamu mesti mengetahui siapa dirimu sebenarnya. Kamu tidak terlahir dari keluarga kami, kamu hanya anak angkat, andaikan ayah tidak menemukanmu, kemudian memungutmu, lalu membesarkanmu dalam lingkungan keluargaku, mungkin kamu tidak seperti sekarang, dan saat ayah sekarang sudah tidak mampu lagi bekerja, menghidupi keluarganya, apakah kamu masih akan menjadi beban baginya??

Pertanyaan itu menghunjam jantung hati "Melia" ia terpaku, hanya bisa mematung, kepalanya terasa pusing, ingin rasanya ia jatuh, tersungkur, ingin ia menagis, berteriak sekuatnya, namun lidah dan air matanya tiba tiba kelu, kering, tenggorokannya terasa panas, tersekat, ia hanya menggigil manahan rasa yang sangat dahsyat.

Saat otaknya dan jantungnya mulai berdetak, "Melia" Melangkah, satu persatu barang barangnya ia kemasi, Melia masih bingung, hendak kemana dengan siapa atau akan berbuat apa, hatinya berdesing, perlahan lahar hangat memenuhi rongga matanya, tenggorokannya mulai longgar, nafasnya yang tersekat sesekali sesenggukan, melangkah menjauh dari rumah yang telah membesarkannya, rumah tempat ia merajut kenangan indah bersamanya keluarga kecil "Marwan" ayah angkatnya yang kini hanya mampu terbaring, akibat penyakit yang dideritanya.

Setahun lamanya Melia merawat Pak Marwan tetapi kemiskinan semakin menjauhkannya dari kata sembuh, biaya berobat yang mahal, dan pekerjaan yang tak kunjung pernah mencukupi kebutuhan hidupnya, menjadi alasan Munirah mengusirnya.

Munirah lebih tua Tujuh tahun dari Melia, dia anak semata wayang pak Marwan, Munirah menikah dengan Karni pemuda sedesanya, tapi nasib baik tak kunjung menghampiri rumah tangganya hingga beranak tiga, Sakit pak Marwan yang tak kunjung sembuh telah menguras seluruh tabungan dari hasil kerja suaminya, hingga pada akhirnya Melia harus rela meninggalkan pak Marwan yang masih terbaring di gubuk bambu.

Purnama hampir penuh, sejak Melia meninggalkan rumah pak Marwan, langkahnya terus diayunkan, meski dengan tujuan yang tidak jelas, setiap kampung dilewati nya, hanya bermodalkan senyum dan keramahan, Melia mampu bertahan menyambung hidup dari belas kasihan penduduk yang di jumpainya

Setelah purnama mulai berubah lancip, Melia menghentikan perjalanan nya, hampir tiga pekan kakinya melangkah tanpa arah, laut yang luas menghalangi langkahnya, dia berjalan mendekati bibir pantai, matanya melihat sekeliling, hingga pandangannya tersangkut pada sebuah dermaga tempat nelayan melabuhkan perahu perahu mereka.

Beralaskan pasir di antara tumpukan sampah dipinggir tebing, Melia melepas lelahnya, mencari makanan diantara tumpukan sampah, berebut dengan binatang liar, hingga seorang nakhoda bertanya,

Kamu siapa?
Mengapa kamu tinggal disini?
dan katakan siapa ayah dan ibumu,???

Seperti curah hujan, Pertanyaan nakhoda itu mengguyur tubuh Melia, hanya airmata yang menjawabnya..

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline