Pendidikan merupakan usaha secara sadar untuk dapat mewujudkan suatu pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Pendidikan juga merupakan proses agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensinya sekaligus mengembangkan kekuatan ilmu pengetahuan berupa spiritualitas keagamaan, pengembangan diri, kecerdasan, kepribadian, serta keterampilan yang nantinya dibutuhkan bagi dirinya sendiri dan juga masyarakat. Dalam hal ini, sistem Pendidikan yang diadakan oleh negara pun dibentuk secara bertingkat sesuai kapasitas dan juga kesiapan peserta didik untuk menerima materi yang akan diajarkan. Dimulai dari Pendidikan dasar, menengah, sampai Pendidikan tinggi.
Salah satu diantara tingkatan Pendidikan adalah Pendidikan Tinggi. Menurut Kemendikbudristek melalui Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014, Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia. Pendidikan Tinggi yang dalam hal ini diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi, memiliki cara dan kondisi nya tersendiri dalam menjalankan sistem pendidikannya.
Kondisi pendidikan Perguruan Tinggi di Indonesia memiliki beberapa aspek yang menarik untuk dibahas. Mulai dari aspek aksesibilitas, kualitas pendidikan, pendanaan, hingga relevansi dengan kebutuhan industri yang kian berkembang. Aspek aksesibilitas sendiri merupakan salah satu aspek atau kondisi yang tak dapat dipisahkan ketika seseorang ingin melanjutkan pendidikannya ke tingkat Perguruan Tinggi. Aksesibilitas ini sendiri merupakan salah satu aspek yang memiliki tantangan ataupun hambatan tersendiri, seperti biaya pendidikan, geografis dan infrastuktur, informasi, dan kesenjangan gender maupun sosial.
Biaya Pendidikan ataupun biaya kuliah merupakan topik yang saat ini sedang hangat dibicarakan. Terlebih setelah berita salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) mengalami kenaikan dalam Uang Kuliah Tunggal (UKT), yang pada akhirnya membuat para mahasiswa baru mengeluhkan tentang hal tersebut. Di luar sana mungkin masih beredar bahkan sudah menjadi pengetahuan masyarakat bahwa dengan kuliah di Perguruan Tinggi Negeri maka uang yang akan dikeluarkan untuk kuliah tidak akan sebesar ketika berkuliah di Perguruan Tinggi Swasta. Padahal, kenaikan atau besaran nilai uang kuliah bisa saja sewaktu-waktu terjadi. Dalam konteks ini, perbandingan biaya kuliah antara PTN dan PTS mungkin tidak selalu langsung, karena kedua jenis institusi ini memiliki struktur biaya dan model pendanaan yang berbeda. PTS sering kali memiliki sumber pendanaan yang berbeda, seperti dari yayasan atau donatur, yang dapat memungkinkan mereka menetapkan biaya kuliah yang kompetitif.
Biaya kuliah yang kenaikan nya dianggap hampir selalu ada tiap tahunnya juga bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Bahkan media massa Tempo dalam unggahan Instagram-nya berpendapat bahwa pangkal persoalan dari kenaikan uang kuliah ini sendiri lahir dari dorongan kampus-kampus negeri berlomba-lomba menjadi Pergutuan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH). Dalih menekan bantuan anggaran dari pemerintah, malah memaksa kampus beroperasi seperti Badan Usaha Milik Negara.
Selain kondisi diatas, kondisi yang juga beberapa tahun terakhir sedang menjadi sorotan di dunia Perguruan Tinggi adalah ketidaksesuaian antara prospek kerja dan pekerjaan yang dialami oleh para lulusan Perguruan Tinggi. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan Mendikbudristek Nadiem Makarim yang mengatakan bahwa 80% mahasiswa di Indonesia tidak bekerja sesuai dengan jurusan kuliah yang diambil. Ada beberapa faktor penyebab mengapa lulusan Perguruan Tinggi di Indonesia tidak bekerja sesuai prospek kerja jurusannya, diantaranya adalah kesenjangan keterampilan, perubahan industri, dan juga kurangnya konseling bimbingan karier. Dan dari faktor-faktor penyebab yang telah disebutkan, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meminimalisir membengkaknya persentase diatas, seperti penyesuaian kurikulum, bimbingan karir, juga kolaborasi dengan industri. Hal hal atau langkah langkah tersebut setidaknya bisa diambil oleh pemerintah atau pihak pengelola perguruan tinggi untuk meminimalisir pembengkakan persentase lulusan Perguruan Tinggi yang bekerja tak sesuai dengan prospek kerja jurusannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H