Lihat ke Halaman Asli

Makanan Para Pemimpin

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanggal ini setahun yang lalu, saya ‘mendaftar’ jadi kompasianer ….. tapi tulisan saya masih bisa dihitung dengan jari tangan ……. Malu juga sebetulnya, tapi ya nekad sajalah …

Ketika Jokowi mengundang rakyatnya untuk membahas suatu masalah, Jokowi menjamu mereka di satu rumah makan yang menyajikan masakan padang. Ketika Jokowi blusukan sendirian atau mengajak Megawati, mereka makan siang di warung tegal, yang tentu harganya tidak semahal makanan di rumah makan padang. Entah pencitraan atau apa, tapi di mata saya, Jokowi mencoba menghargai rakyatnya, dan mengingatkan Megawati akan nikmatnya makanan rakyat.

Bicara makanan pemimpin, saya jadi ingat cerita ibu saya (entah bagaimana dia mengetahui, tapi saya sangat mempercayainya). Dahulu setiap kali Bung Karno berkunjung ke Blitar, di malam hari dia suka menyelinap keluar ‘rumah’ ibunya. Hanya ditemani seorang pengawal, Bung Karno ‘andok’ makan sate angkringan keliling yang dijajakan oleh Kang Dul, orang Kampung Meduran. Di pagi hari, dia suka sarapan nasi pecel sunggi, yang dijajakan oleh Yu Ti, juga orang di Kampung Meduran. Sate Meduran dan pecel memang ‘tipikal’ makanan rakyat blitar, untuk makan malam dan sarapan, murah meriah tapi enak dan mengenyangkan.

Kemarin siang, saya baca ulang buku yang berjudul “Belajar dari dua Umar’ yang saya beli beberapa tahun lalu. Saat Umar ibnu Khaththab menjadi Khalifah, dia mendapat kiriman makanan dari Utbah ibnu Farqad, yang saat itu menjabat Gubernur Azerbaijan. Umar ibnu Khaththab segera membuka dan mencicipi makanan tersebut, dan bertanya kepada utusan : ‘Makanan apa ini?’. Jawab seorang utusan : ‘Makanan ini namanya HABISH. Makanan paling lezat di Azerbaijan’. Umar melanjutkan pertanyaannya : ‘Apakah seluruh rakyat Azerbaijan bisa menikmati makanan ini?’. Si utusan menjawab dengan gugup : ‘Tidak. Tidak semua bisa menikmatinya’. Wajah Umar ibnu Khaththab seketika merah pertanda marah. Dia segera memerintahkan utusan untuk membawa habish kembali ke Azerbaijan dan menulis surat kepada gubernurnya : ‘Makanan semanis dan selezat ini bukan dibuat dari duit ayah dan ibumu. Kenyangkan perut rakyatmu dengan makanan ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu!!!’. Subhanallah ….. rupanya khalifah hanya menyantap makanan yang bisa dinikmati seluruh rakyatnya …….

Jadi malu sendiri, melihat tetangga makan di warung ampera, sedangkan saya di steak house.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline