Dunia hanyalah permainan dan senda gurau...
Dunia adalah sebuah maha dagelan. Sebuah guyonan besar. Kalau bisa diibaratkan, kita ini sama saja dengan karakter-karakter dalam srimulat yang asik mengolah peran kita di atas panggung. Lantas apa yang akan dilakukan? Pilihannya tidak terbatas. Lihat saja srimulat (entah kenapa, saya begitu salut pada mereka). Dengan hanya bermodalkan skrip yang tidak jelas, mereka bisa memainkan peran mereka dengan lancar di atas panggung. Penokohan, pengolahan konflik, penataan atmosfer komedi, semuanya berdasarkan improvisasi belaka. Tapi bukan berarti mereka tidak serius bukan? Mereka serius dalam ketidakseriusan panggung dagelan. Mereka menangkap esensi karakter yang mereka perankan dalam skrip, kemudian menancapkan eksistensi mereka di atas panggung dengan mata tertutup. Tidak tahu bagaimana akhir dari cerita, namun mereka yakin karakter mereka mempunyai peran yang esensial – setidaknya untuk penonton. Benar-benar ahli kehidupan di atas panggung. Benar-benar manusia-manusia yang sadar akan keistimewaan peran mereka di atas panggung dagelan, meskipun mereka menutupinya dengan eksistensi mereka yang cenderung remeh menurut kita sebagai penonton. Tapi toh, mereka cuek saja dan tetap melenggangkan eksistensi mereka tanpa takut dihujat.
Pilihan bagi kita begitu jelas. Jika dunia ini hanya sebuah maha dagelan, maka yang bisa kita lakukan adalah menerima hal tersebut, lantas belajar menjadi ahli srimulat atau sibuk menyangkal dan berusaha dengan susah payah membuat konstruksi baru dunia menurut perspektif ego dan arogansi sendiri. Bagi yang memilih kedua, bersiaplah untuk super lelah dan terkecewakan. Bagaimana tidak, penyangkalan akan menutupi esensi, sama seperti menempatkan Nietzsche bersama srimulat dalam satu panggung. Yang memilih pilihan pertama tidaklah juga semudah yang diharapkan. Menjadi srimulat pun butuh belajar dengan serius. Tapi paling tidak menerima akan lebih termudahkan daripada menyangkal.
Untuk memahami dunia yang seperti sebuah panggung srimulat pun, kita juga harus memahami diri kita sendiri. Tentu saja kata tanya yang paling dasar untuk ini adalah apa. Apa sebenarnya aku ini? Lihatlah para teman-teman seniman kita, maupun para pemikir-pemikir kita. Mereka adalah orang-oranng yang tersesat. Tentu saja, bukan tersesat dalam artian sempit. Tapi mereka memang menyesatkan diri mereka. Mereka sengaja mengasingkan diri mereka sendiri dari dunia, karena dunia tanpa makna. Setidaknya itulah yang dipikirkan Sartre. Dengan keterasingan itu mereka menemukan esensi mereka, bahwa dunia sekaligus esensi mereka merupakan sebuah absurditas. Bagi mereka tidak ada makna kehidupan, tidak ada skenario seperti srimulat. Manusia ditakdirkan untuk menentukan jalan mereka sendiri, menentukan hakikat mereka sendiri. Mereka adalah aktor atas skenario mereka sendiri.
Jika masih bingung, anggap saja kita adalah biji-biji kopi yang berpikir. Otomatis jika kita adalah biji-biji kopi yang paham hakikat atau tujuan dari adanya kita, pasti kita akan menyiapkan diri untuk menjadi minuman kopi yang ada di gelas -gelas. Karena tujuan kita ada, adalah untuk menyerahkan ciri khas rasa kita pada lidah lalu selanjutnya berakhir dalam perut. Namun tidak demikian bagi para seniman kita. Mereka menolak menjadi yang seperti demikian. Mereka menolak berakhir dalam perut. Makanya mereka melarikan diri dari tujuan penciptaan mereka dan pada akhirnya berada di perut luwak. Sayangnya, luwak tidak membutuhkan bij-biji mereka, luwak hanya butuh dagingnya saja. Dan berakhirlah mereka dalam kubangan e'ek luwak. Tapi, setidaknya mereka berani membuat perubahan dengan tidak memberikan cita rasa biji mereka untuk lidah-lidah manusia. Mereka menyimpan esensi mereka untuk mereka sendiri walaupun itu berarti berkubang dalam e'ek.
Tapi hebatnya, yang namanya hakikat itu pasti selalu mengembalikan semuanya kembali ke relnya semula untuk menuju tujuan awal. Makanya para biji kopi pemberani yang berkubang e'ek tadi akan kembali dipaksa ke tujuan awal penciptaan mereka. Apa itu? Ya itu tadi, mereka tetap akan menyerahkan cita rasa mereka ke lidah-lidah manusia dan berakhir di perut. Ini karena mereka telah menjadi kopi luwak. Apakah ittu kesia-siaan. Sangat bukan. Mereka menjadi spesial. Mereka menjadi lebih berharga dari biji-biji kopi yang lain kan? Mereka adalah biji-biji yang berharga lebih mahal dari sesamanya. Memang, kadangkala diperlukan perjalanan yang berputar-putar untuk memahami apa dan untuk apa kita ini. Ya, meskipun berakhir di dalam e'ek. Perjalanan mereka sekarang mungkin masih saja baru sampai di belantara e'ek. Makanya bisa dibilang mereka tersesat. Walapun begitu, mereka pemberani dibanding yang lain, mereka sengaja tersesat untuk menemukan jalan mereka kembali. Dan itulah yang membuat mereka jadi spesial.
Mungkin karena itulah Kant berkata: kita adalah keping kecil dari puzzle besar, makanya akal kita tidak akan sampai untuk memikirkan sebab dan akibat dari puzzle realitas besar itu. Bagaimana bisa sebuah keping kecil seperti kita mengetahui gambaran puzzle besar itu. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah mencoba. Mencoba memikirkan untuk apa kita ini? Ke mana tujuan akhir kita nanti? Lantas bagaimana kita tahu kalau kita udah di arah yang benar? Bagaimana mengetahui kalau kita ini biji kopi yang udah siap giling? Bukankah ini yang seharusnya kita cari tahu. Dan kita tidak akan dapat jawabannya hanya dengan duduk diam dan berpikir. Kita harus menjadi biji-biji kopi yang tidak takut ke mana kita akan berakhir. Sama seperti biji kopi luwak tadi, mereka menyesatkan diri dan ternyata hakikat membawa mereka ke tujuan utama. Dengan tambahan istimewa pula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H