- Bank syariah itu belum murni syariah
- Bank syariah itu hanya istilah saja tetapi dalamnya sama saja dengan bank konvensional
- Kantor cabang bank syariah itu masih terbatas sehingga sulit untuk bertransaksi
Sulit mencari ATM bank syariah
- Bank Syariah itu Mahal
Itulah beberapa alasan yang sering saya temukan di lapangan dari hasil komunikasi dengan beberapa nasabah terkait persepsi mereka terhadap kehadiran bank syariah di Indonesia. Meskipun saya belum melakukan studi secara mendalam terkait pernyataan diatas, namun pernyataan tersebut saya kuatkan dengan data statistik yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK dalam Laporan Data Statistik Perbankan Syariah Indonesia Edisi Juni 2015 mencatat bahwa lembaga perbankan syariah di Indonesia berjumlah 195 lembaga yang terdiri dari 12 Bank Umum Syariah (BUS), 22 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 161 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Namun, pertumbuhan jumlah lembaga keuangan syariah tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitasnya. Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis OJK, aset industri perbankan syariah hingga Maret 2015 mencapai Rp268,35 triliun, atau memiliki pangsa pasar (market share) 4,64% dari total aset industri perbankan konvensional senilai Rp5.783 triliun (Simamora, 2015). Data statistik tersebut membuktikan bahwa eksistensi perbankan syariah pada dual banking system yang berjalan di Indonesia masih menjadi bayang –bayang dari sistem perbankan konvensional.
Sebagai negara yang mayoritas muslim, fakta tersebut cukup aneh dan kontraproduktif mengingat ekonomi syariah yang merupakan landasan dasar dibangunnya perbankan syariah merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dari seorang muslim. Sehingga sangat tidak logis jika perbankan syariah yang hadir di Indonesia tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya dari umat muslim Indonesia.
Sebagai seorang muslim tentu kehadiran perbankan syariah di Indonesia laksana oase di padang gurun dimana selama berpuluh – puluh tahun aktivitas perbankan nasional dikuasai oleh sistem perbankan konvensional. Namun, selama kurang lebih 24 tahun berjuang, bank syariah belum mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia.
Jika kita simak empat alasan diatas kenapa mereka belum sepenuhnya menggunakan bank syariah, sisi pragmatisme kemudahan dalam bertransaksi menjadi dasar mereka mengesampingkan cinta dan dukungan mereka terhadap eksistensi bank syariah. Masyarakat modern pada umumnya berfokus pada kemudahan dalam menikmati sebuah produk dan jasa. Memanfaatkan produk – produk yang ditawarkan di bank syariah akan mengeluarkan effort yang lebih dibandingkan jika mereka menggunakan produk dan layanan yang diberikan oleh bank konvensional. Pola berfikir pragmatis inilah yang menyulitkan penetrasi bank syariah di Indonesia.
Jika kita sebagai seorang muslim sejati tentu harus menjalankan agama ini secara kaffah (totalitas) tak terkecuali kegiatan bermuamalah. Kenapa kita akhirnya tetap memilih menggunakan bank konvensional dan mengalahkan perwujudan cinta kita untuk membesarkan bank syariah ini. Dengan memberikan kontribusi kita sebagai nasabah bank syariah, bank syariah akan semakin mudah untuk melakukan ekspansi yaitu dengan menambah jumlah ATM dan kantor cabang maupun produk – produk dan jasa yang lebih kompetitif serta variatif sehingga kemudahan yang dirindukan selama ini akan segera terwujud. Jangan sampai kita lantang mengkritisi tanpa memberikan solusi praktis. Jangan sampai kita mencela bank syariah yang tidak murni syariah tetapi kita masih asyik melakukan transaksi di bank konvensional.
Akhirnya, coba kita membayangkan bank syariah di Indonesia memiliki kantor cabang di setiap wilayah Indonesia dengan ATM yang tersebar merata pada setiap kecamatan di Indonesia dengan biaya transaksi yang murah. Andai saja rasa cinta ini menggulung pemikiran pragmatis kita dengan merelakan diri kita menjadi bagian tak terpisahkan dari bank syariah (berhijrah ke bank syariah) tentu bayangan itu akan menjadi mimpi yang menjadi kenyataan.