Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Diri Sendiri tentang Kekuasaan Tuhan

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bab Belajar dari Diri Sendiri

Sekarang kembalilah merenungkan diri Anda sekali lagi! Siapa yang mengatur dengan amat jeli ketika Anda masih janin dalam perut ibu Anda, di tempat yang tidak ada tangan yang menjangkaumu, tidak ada mata yang melihatmu, dan kamu tidak berdaya untuk mendapat makanan sendiri atau untuk menolak penyakit. Siapa yang mengalirkan zat makanan kepadamu melalui darah ibumu seperti air menyuplai makanan kepada tumbuh-tumbuhan dan mengubah darah itu menjadi susu? Dia terus memberimu makanan dengannya di tempat yang paling sempit, dan tidak mungkin seseorang di sana mencari makan sendiri. Hingga, jika badanmu telah sempurna, kulitmu telah kuat untuk berinteraksi dengan udara, matamu telah kuat menerima sinar, tulang-tulangmu keras sehingga sanggup bersentuhan dengan benda-benda di bumi, maka ibumu merasakan sakitnya melahirkan yang memaksamu keluar ke dunia ujian. Rahim mendorongmu dari tempatmu seakan-akan ia tidak pernah mengandungmu sama sekali.

Alangkah bedanya antara penerimaan rahim ketika kamu masuk dalam bentuk setetes mani dan antara dorongan dan pelahirannya ini! Padahal, sebelumnya rahim gembira dengan mengandungmu, tapi sekarang melolong dan merintih kepada Tuhan karena bebanmu. Siapa yang membukakan pintu rahim untukmu sehingga kamu masuk, lalu menutupnya sampai kamu sempurna, kemudian membuka pintu itu lagi dan melebarkannya sehingga kamu keluar darinya dalam sekejap mata? Sempitnya tidak mencekikmu, sulitnya jalan yang kamu lalui di sana tidak menahanmu. Kalau kamu perhatikan masukmu melalui pintu itu dan keluarmu dari sana, tentu kamu merasa amat heran. Siapa yang mengilhaminya supaya menyempit pada saat kamu masih dalam keadaan setetes mani sehingga kamu tidak rusak di sana, dan mengilhaminya supaya melebar sehingga kamu keluar dengan selamat?

Kamu keluar sendirian, lemah, tanpa baju, perhiasan, dan harta. Saat itu kamu adalah makhluk Allah Subhanahu wa ta’alaa yang paling miskin, lemah, dan paling memerlukan bantuan. Maka, Dia memindahkan susu yang dahulu kamu konsumsi di perut ibumu ke dalam dua gudang (payudara) yang tergantung di dadanya. Ibumu membawakan makananmu di dadanya sebagaimana dia telah membawamu di perutnya. Allah Subhanahu wa ta’alaa mengalirkan susu ke kedua payudara itu dengan amat lembut, melalui saluran-saluran yang telah disiapkan. Dia. terus mengawasi saluran-saluran itu sampai kedua puting itu penuh dan kamu selesai meminumnya. Ia adalah sumur yang airnya tidak habis dan sumbernya tidak tersumbat. Dia mengirimkannya kepadamu melalui jalan-jalan yang tidak diketahui oleh pengembara dan tidak dapat dilalui pejalan kaki.

Siapa yang melembutkan susu itu untukmu? Siapa yang menjernihkannya, melezatkan rasanya, membaguskan warnanya, dan memasaknya dengan sempurna, tidak panas atau dingin yang membahayakan, rasanya tidak pahit atau asin, dan baunya tidak busuk? Dia mengubahnya dalam bentuk makanan dan manfaat yang berbeda dengan fungsi dan bentuknya di perut. Dia memenuhi kebutuhanmu pada saat kamu amat membutuhkannya, ketika kamu amat haus dan lapar. Dia memfungsikan susu sebagai makanan dan minuman sekaligus.

Begitu lahir, kamu menggerakkan bibirmu untuk menyusu. Kamu mendapati susu yang tergantung itu seperti kantong kulit menjuntai dan menyerahkan pancaran air susunya kepadamu. Di ujungnya ada puting yang pas dengan ukuran mulutmu yang kecil sehingga kamu tidak lelah ketika mengulumnya. Dia melubangi ujungnya dengan lubang yang lembut sesuai dengan kemampuanmu; tidak lebar sehingga kamu tersedak oleh susu, dan tidak sempit sehingga kamu sulit menyedotnya. Dia menjadikan ukurannya sesuai dengan hikmah-Nya dan maslahatmu.

Siapa yang membuat hati ibumu mengasihi kamu bagaimanapun keadaannya, dan meletakkan rasa sayang yang luar biasa mengagumkan, sehingga kamu mendapat ketenangan? Jika ibu merasakan tangisan atau rengekanmu, ia bangkit dan mengedepankan kebutuhanmu atas kebutuhannya sendiri. Ia terdorong kepadamu tanpa penuntun atau pendorong, selain dorongan dan tuntutan kasih sayang. Ibu rela kalau semua yang bisa menyakitimu menimpa dirinya saja, tanpa mengenaimu. Dia rela menambahkan umurnya kepada umurmu. Siapa yang meletakkan kasih sayang itu di hatinya?

Sampai apabila badanmu telah kuat, usus-ususmu telah melebar, tulang-tulangmu telah mengeras, dan kamu membutuhkan makanan yang lebih keras dari makananmu dan menguatkan tulang dan dagingmu, maka Dia menumbuhkan di mulutmu alat memotong dan mengunyah. Dia memasang gigi depan untuk memotong makanan, dan geraham untuk mengunyahnya.

Siapa yang mencegah gigi-gigi itu tumbuh pada masa kamu menyusu sebagai rahmat kepada ibumu, lalu menumbuhkannya pada saat kamu sudah bisa makan sebagai rahmat atasmu. Seandainya ketika kamu keluar dari perut ibumu sudah punya gigi, taring, dan geraham; bagaimana ibumu menghadapi kamu? Kalau kamu tidak diberi gigi ketika kamu membutuhkannya, bagaimana kamu menghadapi makanan-makanan itu yang tidak mungkin kamu telan sebelum kamu potong dan kamu kunyah?

Semakin kamu kuat dan membutuhkan gigi untuk memakan makanan yang bermacam-macam, maka alat-alat itu ditambah sampai akhirnya berhenti pada geraham. Sehingga, kamu mampu menggigit daging, memotong roti, dan mematahkan makanan yang keras. Siapa yang membantumu dengan alat-alat ini sehingga kamu dapat menyantap berbagai macam makanan?

Kemudian sejalan dengan hikmah-Nya, Dia mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Kamu bodoh, tidak punya akal dan pemahaman. Itu adalah salah satu rahmat-Nya kepadamu. Karena, dengan kelemahanmu, kamu tidak sanggup memfungsikan akal, pemahaman, dan pengetahuan; kamu justru akan merana. Dia menjadikan akal itu berkembang secara bertahap pada dirimu. Tidak muncul secara tiba-tiba dan mengejutkan, melainkan tumbuh sedikit demi sedikit sampai sempurna. Bayangkan jika seorang anak diculik dari negaranya dan dipisahkan dari kedua orang tuanya semasa bayi, hal itu mungkin tidak terlalu menyakitinya. Tapi, makin dekat dia dengan kematangan akal, makin berat dan sulit hal itu diterimanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline