Diceritakan kembali dari: Komik "Mahabharata" (R.A. Kosasih)
Berita ini sungguh membuat bimbang Prabu Salya. Keinginannya untuk berpihak pada Pandawa pada pertempuran yang kelak bernama Bharatayudha itu, terhalang oleh berita dari Hastina. Ya, Prabu Duryudana mengirim utusannya ke perkemahannya, membawa berita tentang sakitnya Banowati, anaknya yang bungsu yang menjadi permaisuri Prabu Duryudana.
Hatinya sungguh berpihak kepada Pandawa. Bukan hanya pada Pandawa, pada ayah mereka, mendiang Pandu Dewanata pun, dia tetap mengaguminya sampai sekarang. Kesatria yang cakap dan jujur. Dulu ia rela adiknya Dewi Madrim mendapatkan Pandu sebagai suaminya walau dia sendiri gagal mendapatkan Kunti Nalibrata (Dewi Kunti) karena dikalahkan Pandu, saat diadakan sayembara di Negara Mandura untuk memperebutkan Dewi Kunti. Walau kalah, ia senang Pandu menjadi suami adiknya, yang ia jadikan taruhan bila dia kalah dari Pandu.
Kecintaannya pada Pandawa bertambah saat Madrim melahirkan Nakula-Sadewa, dua anak kembar yang kelak menjadi kesatria-kesatria cakap dan berbudi seperti kakak-kakaknya. Prabu Salya pun bersimpati pada perjalanan hidup Pandawa, yang seringkali menderita karena kecurangan saudara-saudara misannya sendiri, para Kurawa. Direbut haknya atas tahta Hastina sebagai penerus ayahnya Pandu, sampai harus mendirikan kerajaan sendiri (Indraprasta) di tanah yang dulunya hutan belantara (hutan Kandawa), dan toh akhirnya tetap harus kehilangan Indraprasta karena permainan dadu oleh Kurawa, berkat olah fikiran licik Sangkuni.
Salya menyadari ia bukanlah seorang yang rendah hati, bahkan dikatakan orang sebagai orang sombong (apalagi sewaktu masih muda), tapi dia mencintai kebenaran dan kejujuran. Kecintaannya pada kebenaran dan kejujuran inilah yang membuat hatinya berpihak pada Pandawa.
Maka ketika ia mendengar berita tentang kesepakatan Pandawa dan Kurawa untuk berhadapan di padang Kurusetra, dan setelah ia mendapat surat permintaan bantuan dari Prabu Yudhistira, ia pun tak berpikir panjang lagi, mempersiapkan pasukannya dan berangkat ke Wirata, tempat para Pandawa berdiam saat ini.
Kedatangan utusan Prabu Duryudana di tengah perjalanannya ke Wirata dengan membawa berita ini tentu saja membuat ia bimbang, apakah akan meneruskan perjalanannya ke Wirata bersama pasukannya, atau harus membatalkan rencana ini dan pergi ke Hastina untuk menengok Banowati. Ia harus mengambil keputusan malam ini, sebelum esok hari harus kembali melanjutkan perjalanan.
Maka malam itu, saat ia menimbang-nimbang keputusannya, pikirannya pun melayang ke masa lalu ....
....
Narasoma, demikian namanya waktu muda dulu, dia adalah putra mahkota di Kerajaan Mandaraka. Orang bilang dia pemuda yang angkuh, sombong, percaya diri tinggi. Ganteng memang, makanya banyak gadis yang suka. Suatu saat dia melawan ayahnya, Prabu Artayana, ketika akan dijodohkan dengan pilihan ayahnya. Maka diusirlah ia karena dianggap melawan orang tua, berkuda seorang diri tanpa tahu arah yang dituju. Menjalani gunung, hutan, dan ngarai. Sampai dia melewati sebuah padang.
Tanpa ia sadari ada yang sesosok tubuh besar melayang-layang di udara, mendekatinya. Sesosok tubuh raksasa, namun berpakaian brahma (resi). Sekonyong-konyong resi inipun mendarat dan menghadang Narasoma dan kudanya, sampai kudanya meringkik kaget. Sang resi raksasa ini pun memperkenalkan dirinya, Resi Bagaspati namanya. Dia tanya identitas Narasoma. Narasoma pun terus terang saja membuka identitasnya.
Tak disangka sang resi mengatakan bahwa dia ingin menikahkan Narasoma dengan putrinya. Tentu saja Narasoma kaget, tak percaya apa yang didengarnya. Apa? Menikah dengan seorang anak raksasa? Siapa yang mau?