Lihat ke Halaman Asli

Sepatu Panggang (Novbung)

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sepatu Panggang

(Novbung)

Hari itu rintik gerimis masih membasahi rumput di pinggir jalan beralaskan tanah merah yang telah berbalut lumpur. Memang tadi malam hujan turun begitu deras, sama seperti malam-malam sebelumnya. Jalanan tanah merah itu tidak tampak seperti jalan lagi, tapi lebih pantas disebut lautan lumpur yang memang tidak bisa dilalui dengan mudah. Tapi Mitun tidak perduli, ia harus berangkat ke sekolahnya, sebuah sekolah dasar yang merupakan sekolah satu-satunya di kampung itu yang berjarak sekitar 3 kilometer dari rumahnya. Baginya sekolah begitu penting. Ia menggantungkan hidup dan masa depannya kepada sekolah. Seperti yang diajarkan oleh kedua orang tuanya, kalau kamu mau hidupmu lebih baik kamu harus sekolah. Selalu kata-kata itu yang terngiang di telinga Mitun kecil.

Pun pagi itu, dengan kaki belepotan lumpur, dengan semangat ia terus menelusuri jalanan. Tampak para petani sedang menggiring sapi menuju sawah, memang musim seperti ini saat untuk membajak sawah. Di kampung ini, pada musim tanam, anak-anak seusia Mitun biasa membantu orang tua ke sawah. Begitu pun dengan Mitun, ia selalu membantu orang tuanya di sawah. Namun orang tua Mitun tidak mau mengorbankan sekolah Mitun. Sekolah tetap sesuatu yang penting bagi Mitun. Ia tidak boleh bolos sekolah. Mitun membantu orang tuanya sepulang sekolah, yaitu ngangon kambing dan sapi. Ia pergi membantu orang tuanya di sawah hanya saat libur saja.(BERSAMBUNG)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline