Ketika hingar bingar kampanye pilpres berakhir dan pencoblosan selesai, kita semua memusatkan perhatian pada proses rekapitulasi suara. Bukannya pasrah bongkok kepada KPU dan Bawaslu serta seluruh aparatnya, tapi masing-masing menunggu dengan was-was jangan sampai ada kecurangan dalam penghitungan suara. Maka berjibunlah pernyataan-pernyataan agar semua pihak mengawasi jalannya perhitungan. Berbagai prakarsa masyarakat muncul untuk mengawal rekapitulasi. Ada yang menyebarkan saksi-saksi diseantero Nusantara dan ada pula yang membuka laman penghitungan suara di internet. Bahkan ada yang berniat mengerahkan masa untuk mengawal perhitungan akhir KPU.
Media sosial tiap hari sibuk memberitakan kecurangan disana sini. Formulir C1 menjadi bahan referensi utama. Ada C1 yang salah jumlah, ada yang tintanya berbeda-beda, ada yang mengubah angka 3 menjadi 8, ada yang menambah satu angka didepan, dan banyak kasus lain. Bisa saja temuan itu akibat kecerobohan atau kesalah manusiawi. Tetapi begitu luasnya kasus-kasus ini membuat kita khawatir barangkali memang ada yang salah di bangsa ini. Temuan ini tidak hanya terkonsentrasi di satu kawasan tapi hampir di semua propinsi ada contoh-contoh kejanggalan dan kemungkinan kecurangan. Inipun bukan hal baru. Di setiap pemilu ataupun pilkada sebelum ini kita juga sudah mengalami hal yang sama sehingga setiap habis pemilu berbagai gugatan bertumpuk di Mahkamah Konstitusi.
Tulisan ini bukan bermaksud mempertanyakan keabsahan pilpres yang baru lalu karena semua kekisruhan itu kami yakin sudah dan akan diketahui dan dikoreksi. Yang dipertanyakan disini, apakah begitu banyak manusia Indonesia yang ceroboh atau sengaja mengeruhkan suasana pilpres dengan main kotor dengan atau tanpa imbalan tertentu. Apakah begitu banyak warga negeri ini yang katanya beragama tapi tidak bisa diberi kepercayaan dengan menghianati amanah yang diberikan oleh rakyat untuk mengelola urusan bangsa yang sangat penting seperti pemilu.
Semua pertanyaan diatas sangat mengganggu nurani bangsa. Ketika kita masih terus dikejutkan oleh bermunculannya kasus-kasus korupsi milyaran dan triliunan rupiah, apakah kita sudah tidak lagi bisa memercayakan tugas-tugas kenegaraan yang sederhana kepada saudara- saudara sebangsa sehingga harus mengeluarkan begitu besar energi dan biaya untuk melakukan pengawalan dan pengawasan yang ketat?
Walaupun saya berharap semua kekuatiran saya itu keliru tetapi bagaimana bila sinyalemen diatas banyak benarnya. Sedih juga membayangkan semua itu. Lalu apakah kita biarkan saja larut dalam kesedihan tanpa berbuat apa-apa? Tentunya tidak. Upaya jangka pendek adalah pembangunan sistem yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel serta penegakan hukum yang tidak pandang bulu, dimulai dari penegak hukum itu sendiri. Orang Irlandia atau Singapura tidak lebih jujur dari orang Indonesia, tetapi korupsi disana nyaris tidak ada karena sangsi hukumnya tegas dan berjalan.
Dalam jangka panjang budaya jujur bisa dikembangkan paling sedikit dengan dua hal. Pertama, keteladanan pemimpin. Pemimpin yang jujur dan tegas akan disegani oleh bawahannya dan mau tidak mau akan diikuti perintahnya. Kedua, pendidikan karakter. Ini harus dimulai dari anak-anak kita baik di sekolah maupun di lingkungan keluarga. Kepada mereka harus diajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan agama yang benar. Bahwa tidak ada jalan pintas untuk menjadi kaya atau mencapai keberhasilan. Sukses harus diraih dengan bekerja keras melalui upaya yang terhormat dan diridhoi Tuhan.
Banyak pihak mengartikan karakter dan akhlak yang baik itu adalah sopan santun. Benar tapi tidak terbatas demikian. Banyak adat kita yang mengharuskan kita bersikap santun kepada orang tua, guru dan sebagainya. Tapi banyak pula orang santun yang tidak jujur, korupsi, tidak menepati janji, tidak menjalankan amanah. Justru orang-orang seperti inilah yang bisa mengelabui kita.
Bayangkan berapa banyak uang rakyat yang bisa diselamatkan untuk kesejahteraan masyarakat bila negeri ini bersih dari korupsi. Berapa banyak biaya pemilu dan demokrasi yang bisa dihemat bila pemilu berjalan dengan jujur dan adil. Berapa banyak pula energi dan biaya yang bisa dihemat untuk pembangunan bangsa bila setiap pemilu kita tidak harus mengerahkan beribu orang untuk mengawal hasilnya. Belum lagi stress karena waswas dan saling curiga serta potensi konflik antar sesama yang bisa merusak persatuan bangsa. Mudah-mudahan negeri ini segera terbebaskan dari semua masalah ini.
AT
180714
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H