Lihat ke Halaman Asli

Perbincangan Gerimis

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja memerah di lingkaran orbital semesta yang tabu. Langkah kuayun jari menari di pinggiran semesta. Angin menuntun awan pergi ke barat, dan membisikan pada tiada bahwa aku yang sendiri menghias langit dengan canda lama. Detik-detik pendulum dunia mengurungku bersama rindu untuk merindu.

Langit perlahan mengencingi jalan hasrat bertemu tak habis-habisnya. Gerimis turus sejak siang tadi dan tak kunjung reda jua. Sampailah ku ke tempat yang kau katakana, dengan sedikit membawa buku, menghampiri kau bersama semesta jingga bergelembung kehidupan.

Kau mengetahui kedatanganku kala itu. Menorehkan wajah kebelakang, dan kulihat rentetan pandang di balik mata indahmu. Ku tak terlalu dekat untuk menghampirimu. Hanya duduk di serambi depan sambil menunggu dadu dalam impianku.

“Dimana?” Tanyamu di sms

“Sinilah, ku malu bila ke sana.” Jawabku.

Kau menghampiriku perlahan, kakimu yang mungil, berdansa di ujung dermaga pandang mata. Kau ada di depanku kala itu. Begitu saja. Berkrudung merah. Awal duduk mematung. Matamu menerawang baju gembelku, dengan sedikit berenda. Ku hanya bisa berikan tawa lama di atas batu senja ini.

Gerimis waktu senja itu, membuat kita sedikit membisu. Tidak mampu ku ucapkan sesuatu. Semua percikan kata entah disapu oleh apa, dan makna tak melambai-lambai di benak piluku. Melirik sedetik matamu, ku teringat masa lampau. “Setahun menyusuri harapan untuk berbincang denganmu, ku cukup menemukan betapa masa lalu, termasuk yang baru saja melintas di pinggiran mata kita, lewat, melompat, dan beroleh tak penting. Artikel, essai, makalah, dan hal yang lain beramai-ramai mengabdikan pada harapanku dengan seksama. Sepertinya, ada kerja jagad bayi untuk menjaga ingatan. Semacam saling mengajak waspada. Kala gelembung awan dikepung ingatan, tawa terkubur kepalsuan dan lupa”.

Kau tetap mematung menerawang di depanku. Di pelataran monumen makna yang sempit ini, jarak kita, mau tak mau, dekat belaka. Gerimis mengepung kita. Mulai ku awali cerita ini, tapi kau masih tetap mematung. Ku yakin, kau bukanlah Descartesian yang mengetahuimu lewat sebuah ilusi emosional hati, dan melukis semua indahnya gerimis ini dengan cerita hidupku.

“Apa kabar Mar?” Ku awali

“Baik”

“Gimana pemahamannya, sudah ngerti?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline