Lihat ke Halaman Asli

UN Evaluasi Abal-abal!

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hari ini adalah pengumumanhasil UN tahun 2012 untuk tingkat SMA. Semua siswa kelas XII di seluruh Indonesia tentu sedang menunggu dengan harap-harap cemas, apakah mereka lulus atau tidak? Termasuk juga di antara mereka adalah anak didik saya. Sebenarnya pihak sekolah, atau lebih tepatnya kepala sekolah, termasuk juga saya- telah mengetahui hasil UN tahun ini sejak kemaren malam. Tapi, sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, bahwa pengumuman secara resmi baru boleh disampaikan kepada siswa atau orang tua mereka, hari ini pukul 10.00.

Dalam hemat saya, sebenarnya kecil kemungkinan bagi setiap siswa, yang mempunyai kemampuan di bawah rata-rata sekalipun – untuk tidak lulus UN. Sebab dengan sistem kelulusan seperti sekarang, bahwa UN memang tetap dilaksanakan, akan tetapi nilai 5,5 sebagai syarat kelulusan itu adalah nilai rata-rata untuk semua materi UN. Artinya, jika seorang siswa pada pelajaran tertentu mendapat nilai 3, tapi, jika nilai akhir rata-ratanya mendapatkan 5,5 untuk semua pelajaran, maka siswa yang bersangkutan tetap dinyatakan lulus. Terlebih lagi, adanya penambahan nilai hasil ujian sekolah serta nilai semester tiga, empat dan lima.

Sehingga menurut saya, hanyalah siswa yang bernasib sial atau yang memang tidak mau lulus, atau juga sekolah yang tidak ‘menyiapkan’ siswanya dengan baik-lah yang akan tidak lulus dengan sistem seperti ini. Maka, kesimpulannya bahwa UN ini hanyalah proses EVALUASI belajar ABAL-ABAL!

Evaluasi belajar abal-abal itu telah mengantarkan pelaku pendidikan dan peserta didik menganggap UN adalah segalanya. Semua proses belajar diorientasikan hanya untuk lulus UN. Tidak lulus UN, hal tersebut adalah aib yang tidak boleh terjadi. Dan semua sekolah akanbangga memasang baliho besar bahwa sekolah kami LULUS UN 100 %.

Kejujuran tergadaikan dalam proses seperti ini. Obyetifitas terabaikan. Nurani dicampakkan. Jati diri bangsa sirna. Kompetisi fair antar siswa, antar sekolah menjadi kompetisi picik yang mengabukan rasa malu. So?

Tidak ada pilihan lain untuk mengembalikan wibawa pendidikan kita seperti dahulu, melainkan membubarkan UN. Kembali saja seperti Ebtanas zaman dahulu. Serahkan semua proses penglulusan siswa kepada sekolah. Karena sekolah adalah pihak yang paling tahu terhadap kondisi siswa. Pintar atau goblok, rajin atau malas, hanyalah sekolah yang tahu. Bukan para profesor di perguruan tinggi. Bukan pula para pejabat kementerian pendidikan di Jakarta. Apalagi, mereka para calo pendidikan, atau pihak yang berkepentingan terhadap proyek ‘keabadian’ UN ini.

Sebaiknya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai lembaga teknis yang mengurusi pendidikan- cukuplah berperan sebagai pengawas, fasilitator dan supervisor terhadap proses pembelajaran saja. Sehingga dengan demikian, lulus dan tidaknya siswa benar-benar bisa dikembalikan pada pihak yang paling mengetahui dan terlibat secara langsung dan aktif dalam semua proses pembelajaran mereka, yaitu, sekolah, guru dan kepala sekolah.

Begitukah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline