Lihat ke Halaman Asli

Kutu Bukukah Anda?

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Buku adalah sahabat yang tidak suka mengada-adakan pujian untukmu. Ia adalah teman yang tidak membosankanmu. Ia adalah tetangga yang tidak pernah mengabaikanmu. Ia adalah kawan yang tidak pernah berbohong, tidak berencana jahat dan tidak akan pernah menipumu”

“Buku adalah sebaik-baik teman dikala sendiri. Sebaik-baik penunjuk jalan dalam keterasingan. Sebaik-baik tamu dan sebaik-baik pembantu”

“Buku ibarat wadah yang selalu penuh dengan ilmu. Ia adalah tempat yang dipenuhi untaian mutiara, baik yang jenaka maupun yang serius”

“Kapan kiranya kau bisa melihat sebuah taman yang bisa diapit lengan dan bisa dijinjing? Dan dimanakah kau bisa mendapatkan penasehat hikmah yang bisa menyampaikan kabar orang-orang mati kepadamu? Bukan hanya itu, ia juga bisa mengurai segala permasalahan manusia yang masih hidup.” *Dialah buku, Sodara…!

Semua gambaran tentang buku di atas adalah apa yang diungkapkan oleh seorang penggila buku di jamannya. Sampai-sampai beliau pernah menyewa sebuah toko buku yang menjual berbagai buku, agar semua buku yang ada di toko itu bisa dilahapnya. Beliau adalah Umar bin Bahr Al-Kinani, atau yang lebih dikenal dengan Al-Jahizh.

Begitu juga dengan Abu ‘Alaa` Al-Hamdani, karena kecintaan beliau terhadap buku, sehingga beliau sampai menjual rumahnya untuk membeli buku. Tapi, tak begitu dengan seorang sahabat saya, dia malah menjual buku-buku berharganya hanya untuk menambah biaya pembangunan rumah. Buku-buku berharga yang dijualnya tersebut sebenarnya adalah buku-buku yang tak dimiliki oleh orang-orang kebanyakan. Seperti ‘Tuhfah’ (12 jilid), dia jual satu juta seratus ribu rupiah. Kemudian ‘Majmu’ (23 jilid), dia jual satu juta tujuh ratuh ribu rupiah. Ada lagi buku ‘Siyari Akhbarin Nubalaa`’ yang laku dua juta seratus ribu rupiah. Jumlah jilidnya saya lupa. Dan masih banyak lagi buku-buku yang akan dia jual untuk dijadikan tambahan membangun rumah.

Membaca memang telah menjadi karakter masyarakat ilmiah dari jaman ke jaman. Karena tanpa membaca, mustahil kita bisa mendapatkan pengetahuan. Mustahil kita bisa membangun peradaban. Masyarakat yang malas membaca adalah cermin masyarakat bodoh. Masyarakat yang tidak mengenal buku, adalah potret masyarakat terbelakang. Dan suatu bangsa yang tidak akrab dengan buku, adalah bukti bangsa tersebut tidak mau maju.

Di zaman ketika dulu pemikiran belum ditulis. Ketika pengetahuan belum dibukukan, mungkin media untuk mendapatkan ilmu adalah dengan cara mendengar. Itu seperti yang dilakukan para sahabat Rasulullah saw di awal-awal kedatangan Islam. Ataupun dengan langsung melakukan observasi, seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim as ketika mencari Tuhan.

Kini ketika berbagai pengetahuan, teory dan penemuan telah dibukukan, adalah suatu kecelakaan besar kalau kita tidak mau membaca. Kalau dulu, seorang ulama seperti Imam Bukhari misalnya, hanya untuk mengetahui satu hadis saja, beliau harus mengembara berbulan-bulan dan melintasi berbagai negara. Tapi, kini ribuan hadis yang menceritakan berbagai hal tentang apa yang diucapkan, dilakukan, disetujuai dan diputuskan Nabi saw semuanya telah dibukukan. Ibarat makanan, semuanya telah terhidang di meja makan. Tinggal selera kita, maukah kita menikmati semua itu?

Era teknologi pun datang. Kalau dulu, untuk mengoleksi buku, kita memerlukan ruangan yang luas. Tapi sekarang sekian ribu buku bisa kita simpan hanya di memory computer. Sekali lagi, tinggal kita sekarang, mau membaca, atau mau jadi tukang dengar orang mendongeng? Atau mau jadi orang yang suka menyaksikan tontonan yang kebanyakan tak dapat dijadikan tuntunan?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline