Dalam mengatasi korupsi, kebijakan perampasan aset koruptor muncul sebagai strategi yang potensial untuk memulihkan kerugian keuangan negara dan mendukung efektivitas hukum. Namun, di balik tujuan pemberantasan korupsi yang mulia, kebijakan perampasan aset itu dapat merampas hak manusia yang sangat bertentangan dengan Pancasila. Indonesia sedang dalam keadaan darurat korupsi sehingga dibuat kebijakan perampasan aset, disisi lain biaya politik mahal sehingga memaksa legislatif untuk melakukan korupsi bagaimana kebijakan itu dapat dilakukan jika korbannya adalah pembuat /legislatif jadi sepanjang sistem pemilu tidak
diperbaiki, maka jangan harap legislatif akan menyetujui perampasan aset menjadi produk
UU/kebijakan.
Korupsi bisa disebut racun didalam negara yang harus diberantas sampai ke akar akarnya. Hal ini merupakan budaya yang dapat merugikan masyarakat dan negara sampai ke segala aspek sehingga perlu ditangani secara benar agar tidak memberi dampak yang besar dalam Pembangunan ekonomi, pemerataan kekayaan, dan perluasan akses untuk rakyat. Berdasarkan Indek Persepsi Korupsi tahun 2022, Indonesia berada Peringkat 110 dari 180. Ini menunjukkan Indonesia berada dalam keadaan krisis pemberantasan koruptor karena sudah lebih dari 75% korupsi merajalela. Lalu, Berdasarkan catatan ICW tahun 2022, terdapat 612 orang tersangka kasus korupsi dengan total potensi kerugian keuangan negara mencapai Rp 33,6 triliun(Shalima, 2022). Jika dilihat dari data ini, kondisi peraturan perampasan aset di Indonesia masih belum optimal karena peraturan ini belum masuk ke dalam prioritas untuk dibahas.
Kenapa sih Indonesia masih bisa korupsi? Jika secara kejiwaan, bisa dikatakan bahwa korupsi
terjadi karena keserakahan manusia untuk mendapatkan uang sebanyak banyaknya dengan waktu yang singkat. Tetapi, jika secara akal budi, sistem hukum di Indonesia lah yang
memperbolehkan korupsi terjadi. Berdasarkan Analisa dunia, bukan hanya orang nya yang mau korupsi, tetapi juga sistem nya yang memiliki banyak celah sehingga korupsi bisa terjadi(Zilmi,2023). Belakangan ini, banyak sekali peningkatan kasus kekayaan yang tidak lazim oleh ASN dan ini terjadi bukan tanpa alasan. Dalam administrasi pemerintah, masih ada peraturan yang tidak transparan, politik berbiaya tinggi, dan dan imbalan pada rekrutmen ASN. Bapak Gita Wirjawan selaku Mantan Menteri Perdagangan Republik Indonesia pernah membandingkan sistem hukum di Singapura dan Indonesia serta berkata, “Singapore is a nation of law while
others are nation of lawyers” artinya, negara Singapura sangat amat ketat hukum nya dan lebih mengutamakan serta menghormati pemahaman hukum yang berlaku(Raymond, 2023). Sedangkan, negara Indonesia memiliki sistem hukum yang kurang efisien dan lebih
bergantung kepada pengacara dan pengadilan dalam mengatasi masalah hukum yang dihadapi. Sebagai contoh, pembentukan pasal 67 RKUHP yang isi nya hukuman untuk para koruptor berubah dari hukuman penjara minimal 4 tahun dan denda 2 miliar menjadi penjara hanya 2 tahun dan denda 200 juta(Aji, 2022). Dari perubahan tersebut, dapat dilihat bahwa sistem yang dibuat untuk para koruptor diringankan dan ini membuat keresahan untuk Masyarakat Indonesia. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia membuat pemberantasan aset koruptor menjadi susah dijalankan dan dieksekusi dalam membuat segala keputusan dan kebijakan mengambil apa yang seharusnya milik negara dan diberikan kepada Masyarakat untuk kepentingan umum, tetapi justru dipakai untuk kepentingan pribadi dan memberatkan
Masyarakat, bahkan merugikan negara sendiri sehingga Perlu adanya penguatan penegakan
hukum di Indonesia agar tidak menimbulkan kerugian di Masyarakat dan juga dalam lingkup
negara Indonesia.
Jika dilihat kembali kasus Heru Hidayat, ia sendiri melakukan korupsi uang negara sebesar 22 t riliun dan harus membayar kembali 12 triliun. Lalu, ia juga diberikan hukuman nihil dikarenakan terkena divonis hukuman seumur hidup. Uang yang dikorupsi dan yang berhasil diambil kembali oleh negara tidak seimbang karena walaupun mungkin selisih nya hanyalah berangka 10, tetapi itu tetaplah jumlah yang besar apalagi uang nya itu 10 triliun. Dari kasus ini, negara Indonesia berusaha mengembangkan hukum di Indonesia menjadi ketat dengan memberlakukan kembali RUU perampasan aset di prolegnas 2023 untuk mengejar aset hasil pidana demi memulihkan kerugian Namun, tidak cukup untuk membentuk RUU perampasan aset, Indonesia juga perlu menerapkan unexplained wealth order (UWO). Tujuan dari UWO itu sendiri agar memberikan solusi alternatif untuk mendapatkan informasi dan mengambil tindakan dalam hal terdapat kesulitan melacak sumber kekayaan. Jika Indonesia berhasil mengeksekusi sistem ini dengan baik, Korupsi di Indonesia berkurang secara signifikan karena UWO memberikan dampak positif kepada negara seperti meningkatkan transparansi, mendorong repatriasi aset, mencegah korupsi, dan memotivasi lembaga penegak hukum.
Namun, Pemberantasan aset koruptor juga memberikan dampak dampak negatif dari berbagai aspek. Mekanisme perampasan tanpa tuntutan pidana yang dianggap terobosan ini
mengandung poin yang sangat krusial(Saputra, 2017). Pemberantasan aset koruptor ini dapat memengaruhi kehidupan sosial di masyarakat karena menimbulkan perubahan struktur kekuasaan secara masif pada organisasi atau perusahaan yang terkena kasus korupsi sehingga menimbulkan ketidakpastian pekerjaan bagi sejumlah pekerja yang bekerja di Perusahaan yang
terkena dampak. Lalu, Pemberantasan aset koruptor juga menimbulkan gangguan bisnis dan penurunan investasi asing yang dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia dalam menjalankan tugas nya di sektor pemerintah dan swasta serta menurunkan minat investasi asing karena investor mungkin khawatir tentang risiko yang terkait dengan korupsi. Kemudian,Pemberantasan aset koruptor pasti menimbulkan ketidakseimbangan dalam dunia politik dan
polarisasi karena terjadi kontroversial, terutama dalam dunia kepemimpinan seperti para pejabat dan kaum elite lain nya dapat mempengaruhi dunia politik menjadi tidak seimbang.
Perampasan aset koruptor memang penting dilakukan agar mengembalikan apa yang
seharusnya milik negara dan memulihkan perekonomian negara, namun Perlu juga ada
pertimbangan dilema etika,hukum, dan praktis yang perlu diatasi dengan bijaksana. Memang
diperlukan identifikasi dan kategorisasi aset yang diambil secara ilegal supaya tidak
menimbulkan kerugian yang berat dari keluarga tersangka. Lalu, perlu juga dilihat bahwa koruptor adalah manusia dan warga negara sehingga ia juga memiliki hak asasi manusia untuk hidup. Jangan menjadikan Tindakan perampasan aset koruptor ini sebagai aksi balas dendam menggunakan kekuatan hukum dan politik karena hal itu bertentangan dengan keadilan yang
dianut oleh Pancasila, lebih tepatnya pada sila ke 5 Pancasila. Oleh karena itu, perlu kita hargai hak para koruptor untuk mendapat keadilan dan memastikan aset yang diambil itu juga sesuai apa yang sudah dikorupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H