Awan nampak gelap seiring badai menghampiri, langkah kaki sehaluan hati menuju hamparan sabana ditumbuhi rumput ekor kucing. Bertangkai licin di tampuk bulu kekuningan dan meliar tertancap pasak akar kuat.
Baju batik berpola bunga raflesia terpakai, celana dasar hitam, sendal jepit sedikit tercekik memberikan bekas huruf V di sela-sela kaki.
Berdiri, pantauan arah tercengang. angin kukuh berkunjung, raga waspada bagai tembok cina berdiri.
Rentang waktu tunggu, khayalan ekspektasi telah tinggi..
tapi tidak kunjung jua, hujan.
Terbuka, sinar surya menyingkapkan tabir dari hangatnya.
Umar salah impresi tentang awan pembawa hujan.
Ternyata, itu hanya Awan Undulatus Asperatus, walau terlihat gelap, corak badai menggebu, condong air hujan jatuh. Namun itu hanya semu, terkikis pudar dan berangsur-angsur hilang.
Sedih, tak sesuai ekspektasi. terhampar umar di sabana. memetik rumput ekor kucing.. hangatnya surya hanya sekilas, tanpa geming terpapar.
"Tuhan, aku ingin rahmatMu, menghujani tiap raga yang siap diguyur oleh rasa rindu."
Puitis umar menggoda, ia bagai anak yang ingin sesuatu dari ayahnya, atau menjadi sebuah pemantik rindu terhadap kasih sayang dari ibunya.
Bahkan detak jantung berpacu lebih cepat, akibat rasa yang terkomplikasi menjadi sebuah emosi.
Tik,tik,tik.
Hujan turun di sela matahari memandangi.. Tak percaya, pada iklim yang bermain pada alam.
Umar menyimpulkan bibir, wajah mendongak vertikal seolah mengerti alur dari hujan konveksi..